Duet APJII-FPI Perjelas Tarif Pungutan Telekomunikasi Dimulai

Uji materi ini diharapkan menjadi awal yang baik untuk menata kembali pengembangan teknologi IT khususnya telekomunikasi di Indonesia.

oleh Dewi Widya Ningrum diperbarui 04 Mar 2014, 14:00 WIB
Diterbitkan 04 Mar 2014, 14:00 WIB
internet-broadband-140130b.jpg

Liputan6.com, Jakarta Tidak jelasnya ketentuan jenis dan tarif dalam berbagai pungutan telekomunikasi membuat Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Front Pembela Internet tergerak mendaftarkan gugatan uji materi atas Undang-undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor telekomunikasi.

Dan hari ini, Selasa (4/3/2014), uji materi tersebut mulai disidangkan Mahkamah Konstitusi. Uji materi ini diharapkan menjadi awal yang baik untuk menata kembali pengembangan teknologi IT khususnya telekomunikasi di Indonesia.

Selama ini berbagai pungutan yang dibebankan kepada industri telekomunikasi dianggap tidak jelas dan tidak fair. Penyedia jasa internet misalnya, mereka terlalu terbebani dengan biaya-biaya yang tidak perlu.

Ketentuan jenis dan tarif dalam berbagai pungutan telekomunikasi telah melanggar hak konstitusional warga negara termasuk industri. "Segala jenis pungutan, ketentuannya harus diatur secara jelas melalui undang-undang," kata Ketua APJII Samual Pangerapan.

Adapun gugatan uji materi yang dilaporkan adalah berkaitan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP) serta Pasal 16 dan Pasal 26 Undang-undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi).

Sementara itu, kuasa hukum APJII Pradnanda Berbudy mengatakan, masalah hukum yang dihadapi APJII selama ini adalah besaran dan tarif Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) jasa telekomunikasi yang ditentukan sesuka-sukanya oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika.

"Kami menyoroti pasal 2 dan pasal 3 UU 20/1997 tentang PNBP yang mengatakan bahwa jenis dan tarif PNBP selain yang disebut dalam UU tersebut dapat diatur melalui Peraturan Pemerintah," jelas Pradnanda.

Hal ini dinilai inkonstitusional karena bertentangan dengan pasal 23A UUD 1945 yang mengatakan "Pajak dan segala pungutan memaksa lainnya diatur dengan Undang-undang".

"PNBP adalah salah satu pungutan memaksa, maka tak boleh diatur oleh PP. Itupun ketentuan tentang jenis dan tarif pungutan ada di bagian lampiran, yang tidak bisa menjadi norma hukum," tambahnya.

Salah seorang pemohon dari Front Pembela Internet, Suwandi Ahmad menilai, Kominfo jangan hanya berbangga diri karena berhasil mendapatkan jumlah PNBP yang besar.

"Nyatanya, kesenjangan digital di negeri ini masih cukup besar. Masih ada 80% warga yang belum dapat menikmati layanan internet. Apakah pungutan yang Rp 13 triliun tahun lalu itu digunakan dengan tepat?" katanya.

Baca juga:
FPI Gugat UU Telko Karena Hanya Buat Industri Sulit Berekspansi
Lunasi BHP, Smartfren Perluas Pembangunan BTS
Akuisisi Axis, XL Sebenarnya Hanya Incar Frekuensi?

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya