BRTI: Tarif Interkoneksi Turun, Persaingan Sehat Tercipta

Kebijakan penurunan tarif interkoneksi, menurut BRTI, dapat menjadi salah satu upaya menciptakan persaingan sehat di industri telekomunikasi

oleh M Hidayat diperbarui 09 Mar 2017, 13:00 WIB
Diterbitkan 09 Mar 2017, 13:00 WIB
Ilustrasi BTS. Liputan6.com/Mochamad Wahyu Hidayat
Ilustrasi BTS. Liputan6.com/Mochamad Wahyu Hidayat

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan penurunan tarif interkoneksi, menurut Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dapat menjadi salah satu upaya untuk menciptakan persaingan sehat di industri telekomunikasi di Indonesia. Komisioner BRTI I Ketut Prihadi Kresna mengatakan akan berkomitmen untuk mewujudkan hal itu.

"Penyesuaian terhadap tarif interkoneksi adalah salah satu upaya yang mengarah kepada persaingan industri telekomunikasi yang sehat," ujar Ketut, Kamis (9/3/2017). 

Ia beranggapan, tak ada pihak yang diuntungkan bila tarif interkoneksi turun. "Kalau saya lihat, bila interkoneksi itu berbasis biaya, berarti tidak ada yang diuntungkan. Tapi hal ini akan lain ceritanya, bila biaya ini digabungkan dengan komponen lain yang nantinya akan menjadi tarif pungut ke pelanggan," tutur Ketut lebih lanjut. 

BRTI dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) saat ini masih terus melakukan pengkajian besaran penurunan tarif interkoneksi. Benyamin Sura, Direktur Telekomunikasi Ditjen PPI Kemkominfo, mengatakan sedang melakukan lelang tahap kedua untuk mendapatkan verifikator independen untuk menilai besaran nilai interkoneksi yang tentu membutuhkan data-data dari operator.

Pelibatan verifikator independen tersebut, kata Benyamin, diharapkan akan membuat besaran nilai interkoneksi diterima semua pihak terkait. Ini penting, mengingat rancangan tarif interkoneksi masih belum menemukan titik temu di antara para pelaku bisnis telekomunikasi. 

Sementara itu, dalam seminar yang digelar Indonesia Technology Forum (ITF), pengamat telekomunikasi Bambang P Adiwiyoto mengungkapkan, sejak beberapa tahun lalu dasar yang digunakan oleh regulasi dalam menghitung interkoneksi adalah long run incremental cost (LRIC). 

“Dengan metode ini seharusnya dilakukan penghitungan ulang biaya interkoneksi dengan berpegang pada dasar tarif operator yang paling efisien,” paparnya. 

Artinya, menurut Bambang, konsumen bisa menggugat bila dasar yang digunakan dalam mengambil kebijakan tarif interkoneksi itu, bukan berdasarkan pada hitungan paling efisien. Ia juga menjelaskan, tarif interkoneksi sebaiknya tidak menggunakan batas bawah, melainkan batas atas. Penurunan tarif interkoneksi nantinya akan membuat lalu lintas telepon meningkat. Hal itu berarti pula pendapatan operator tak akan terlalu tergerus oleh penurunan tarif interkoneksi.

Industri telekomunikasi selular yang kuat, sebagaimana diketahui, jelas memerlukan iklim usaha kompetitif karena berkenaan dengan hajat hidup masyarakat. Ketika iklim kompetisi dapat berlangsung dengan baik, masyarakat akan memperoleh dampak positif dari industri tersebut. Sebagai industri yang regulated, para pemangku kepentingan di industri ini sudah seharusnya mematuhi peraturan yang diputuskan pemerintah.

Kebijakan tarif interkoneksi ini belum juga ditetapkan hingga akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan membuat Panja Interkoneksi untuk menyelesaikan polemik ini. Padahal, dasar hukum interkoneksi sudah diatur pada pasal 1 butir 16 UU No. 36 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda. Pada pasal 25 ayat (1) UU No. 36 Tahun 1999 juga dikatakan bahwa setiap penyelenggara jaringan telekomunikassi berhak mendapatkan interkoneksi dan penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.

Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya. Pada ayat (3) dikatakan bahwa pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan prinsip : a). Pemanfaatan sumber daya secara efisien, (b), keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi, (c) peningkatan mutu pelayanan, dan (d) persaingan sehat yang tidak saling merugikan.

Jika melihat pasal tersebut, interkoneksi merupakan hak bagi operator meminta dan kewajiban bagi operator lain yang diminta. Interkoneksi, meskipun menghasilkan pendapatan, tidak dapat dicatat sebagai bagian dari bisnis operator. Setiap panggilan antaroperator selalu menggunakan setengah jaringan operator asal dan setengah jaringan operator tujuan, sehingga operator asal wajib memberi bagian pendapatan kepada operator tujuan. Selain biaya interkoneksi, operator asal juga memungut tarif off net yang penetapan besarannya antaroperator berbeda.

Sebenarnya dengan aturan hukum tersebut tidak ada alasan bagi operator untuk menolak pengaturan tarif interkoneksi, karena hal itu bagian dari regulasi. Formula perhitungan biaya interkoneksi ini ditetapkan oleh pemerintah, dan operator hanya memasukkan data yang diperlukan sesuai dengan kondisi jaringan masing-masing operator.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menegaskan pemerintah bermaksud mendorong efisiensi operator telekomunikasi dengan kebijakan penurunan tarif interkoneksi. Kebijakan itu merupakan perwujudan dari kepentingan negara untuk mengutamakan kepentingan lebih luas yakni kepentingan masyarakat sebagai pelanggan dan menciptakan industri telekomunikasi berkelanjutan (sustainable).

”Pemerintah mendorong penurunan biaya interkoneksi dengan tujuan ingin memberikan efisiensi dan keberlanjutan industri penyelenggaraan telekomunikasi, seperti soal pengembangan wilayah dengan tetap menjamin ketersediaan infrastruktur. Sementara dari sisi pelanggan jasa telekomunikasi, pemerintah berharap penurunan biaya interkoneksi diharapkan dapat menurunkan tarif pungut (retail) untuk layanan antar penyelenggara (off-net) tanpa mengurangi kualitas layanan,” tegasnya.

(Why/Cas)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya