Pemerintah Harus Pakai Skema Terefisien untuk Tarif Interkoneksi

Pemerintah disarankan menggunakan skema hitungan terefisien guna menetapkan besaran tarif interkoneksi.

oleh M Hidayat diperbarui 12 Mar 2017, 18:00 WIB
Diterbitkan 12 Mar 2017, 18:00 WIB
BTS
Ilustrasi BTS (guardian.ng)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam rangka menciptakan efisiensi industri telekomunikasi nasional, pemerintah disarankan menggunakan skema hitungan terefisien guna menetapkan besaran tarif interkoneksi. Tidak lain hal ini bertujuan untuk memberikan manfaat lebih luas bagi masyarakat karena tarif telekomunikasi menjadi lebih terjangkau.

"Pemerintah sebagai regulator seharusnya menerapkan tarif interkoneksi dengan batas atas sebagai acuan untuk mendorong dan mempromosikan persaingan usaha yang sehat di industri telekomunikasi nasional," ujar pengamat telekomunikasi Bambang P. Adiwiyoto dalam keterangannya kepada Tekno Liputan6.com, Minggu (12/3/2017). 

Penetapan tarif itu, menurut Bambang, dapat mengunakan dua pendekatan yakni ilmu ekonomi dan ilmu bisnis. Menurut pendekatan ilmu ekonomi, tarif ditetapkan berdasarkan perpotongan antara kurva supply dan kurva demand, sedangkan mengacu pada pendekatan ilmu bisnis, praktik full cost pricing terjadi bila harga suatu produk dihitung oleh perusahaan berdasarkan biaya langsung per unit ditambah mark up untuk menutup biaya overhead dan keuntungan. Praktik ini sering digunakan pelaku usaha karena sulitnya menghitung secara tepat permintaan suatu barang dan menetapkan harga pasar. 

Dalam menetapkan biaya interkoneksi, biasanya digunakan salah satu dari tiga metode yang ada, yakni historical-cost approach, forward-looking approach, atau pendekatan biaya interkoneksi. Baik regulator maupun operator bersepakat memilih model pendekatan long run incremental cost (LRIC).

Singkat kata, LRIC merupakan biaya tambahan yang muncul dalam jangka panjang dengan tambahan volume traffic untuk produksi spesifik. Model ini menghitung biaya untuk membangun kembali elemen jaringan spesifik dengan mempergunakan teknologi yang ada, dengan asumsi bahwa biaya operasi dan modal dimanfaatkan secara efisien.

"Sampai tahun 2015, Telkomsel ditetapkan sebagai acuan karena dianggap sebagai operator STBS paling efisien. Namun berdasarkan perhitungan terakhir yang telah disampaikan dan diketahui oleh regulator, ada operator STBS lain yang dinyatakan paling efisien, yang memiliki tarif interkoneksi paling rendah, bahkan jauh lebih rendah daripada Telkomsel," tutur mantan anggota BRTI dan KPPU ini. 

Regulator, meski demikian, tetap mempergunakan angka perhitungan di atas sebagai acuan perhitungan tarif telekomunikasi. Padahal tarif interkoneksi Telkomsel dinilai jauh lebih besar dari angka yang dimiliki salah satu operator STBS. Hal ini menyebabkan tarif telekomunikasi menjadi mahal. Tarif yang tinggi, dalam kondisi seperti saat ini, menyebabkan perpindahan surplus konsumer ke surplus produser.

Bila regulator tetap mempergunakan angka perhitungan Telkomsel sebagai acuan yang mengakibatkan sangat tingginya tarif telekomunikasi, menurut dia, konsumen berhak menuntut regulator dan operator tersebut karena merugikan konsumen serta bertentangan dengan ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

"Apabila regulator tetap mempergunakan metode LRIC, seyogianya regulator segera melakukan perhitungan ulang tarif interkoneksi dengan mengacu (kepada) kondisi operator yang paling efisien," paparnya.

Dalam diskusi yang diselenggarakan Indonesia Technology Forum (ITF) kemarin, juga mencuat rencana pemerintah untuk mendorong penurunan tarif interkoneksi guna mendukung efisiensi industri telekomunikasi nasional.

"Pemerintah mendorong penurunan biaya interkoneksi dengan tujuan ingin memberikan efisiensi dan keberlanjutan industri penyelenggaraan telekomunikasi, seperti soal pengembangan wilayah dengan tetap menjamin ketersediaan infrastruktur. Sementara dari sisi pelanggan jasa telekomunikasi, pemerintah berharap penurunan biaya interkoneksi diharapkan dapat menurunkan tarif pungut (retail) untuk layanan antar penyelenggara (off-net) tanpa mengurangi kualitas layanan," tegas Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara.

Pernyataan komisioner BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) I Ketut Prihadi Kresna juga senada keinginan pemerintah. "Penyesuaian terhadap tarif interkoneksi adalah salah satu upaya mengarah kepada persaingan industri telekomunikasi yang sehat,” katanya.

Kemudian, Direktur Telekomunikasi Ditjen PPI Kominfo Benyamin Sura menjelaskan saat ini pihaknya masih terus mengkaji tarif interkoneksi bersama BRTI. “Saat ini kami sedang melakukan lelang tahap kedua untuk mendapatkan verifikator independen untuk menilai besaran nilai interkoneksi yang tentu membutuhkan data-data dari operator,” ungkapnya.

Dengan verifikator independen tersebut diharapkan besaran nilai interkoneksi dapat diterima oleh semua pihak. Pernyataan ini diungkapkannya menyikapi keinginan pemerintah terkait penurunan tarif interkoneksi yang masih menuai pro dan kontra di lapangan.

(Why)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya