Liputan6.com, Jakarta - Peneliti MIT telah menemukan bahwa paduan yang disebut InGaAs (indium gallium arsenide) menyimpan potensi transistor yang lebih kecil dan lebih hemat energi daripada silikon.
Penemuan ini suatu hari nanti dapat membantu mendorong daya komputasi dan efisiensi melebihi apa yang mungkin dilakukan oleh silikon, yang selama beberapa dekade terakhir ini menjadi material untuk produksi chip dan transistor.
"Kami berharap hasil ini dapat mendorong para peneliti lainnya untuk terus mengeksplorasi penggunaan InGaAs sebagai bahan saluran transistor," ujar Xiaowei Cai, penulis utama studi tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Transistor merupakan salah satu material inti dari komputer. Peran mereka sebagai sakelar, baik menghentikan arus listrik atau membiarkannya mengalir, meningkat signifikan menjadi serangkaian proses komputasi mengejutkan.
Satu unit laptop dapat memuat milyaran transistor. Agar daya komputasi meningkat di masa depan, seperti yang telah diupayakan selama ini, para insinyur kelistrikan harus mengembangkan transistor yang lebih kecil dan lebih padat.
Hingga saat ini, silikon telah menjadi bahan semikonduktor pilihan untuk transistor, tetapi InGaAs telah menunjukkan potensinya sebagai alternatif silikon.
Elektron dapat melewati InGaAs dengan mudah, bahkan pada tegangan rendah. Materi ini "dikenal memiliki sifat transpor [elektron] yang hebat," kata Cai.
Sifat tranpor elektron dari InGaAs
Transistor InGaAs dapat memproses sinyal secara cepat serta berpotensi menghasilkan komputasi lebih cepat.
Selain itu, transistor InGaAs dapat beroperasi pada tegangan relatif rendah, yang berarti dapat meningkatkan efisiensi energi komputer. Jadi, InGaAs mungkin tampak seperti material menjanjikan untuk transistor komputer di masa depan.
Namun, sifat transpor elektron dari InGaAs tampaknya memburuk pada skala kecil, diperlukan untuk membangun prosesor komputer yang lebih cepat dan lebih padat.
Ternyata, studi baru menunjukkan kerusakan yang tampak itu bukanlah sifat intrinsik dari material itu. "Kami telah menemukan bahwa itu adalah kesalahpahaman," kata Cai,
Cai dan rekannya menemukan bahwa masalah kinerja InGaAs pada skala kecil sebagian disebabkan oleh oxide trapping. Fenomena ini menyebabkan elektron macet saat mencoba mengalir melalui transistor.
"Transistor seharusnya berfungsi sebagai sakelar. Anda ingin dapat menghidupkan tegangan dan memiliki banyak arus," kata Cai. "Tetapi jika Anda memiliki elektron terperangkap, yang terjadi adalah Anda menyalakan voltase, tetapi Anda hanya memiliki jumlah arus sangat terbatas. Jadi, kemampuan sakelar jauh lebih rendah ketika Anda memiliki oxide trapping itu."
Advertisement
Penulis makalah
Cai dan timnya menyimpulkan bahwa oxide trapping merupakan penyebab di balik hal tersebut dengan mempelajari ketergantungan frekuensi transistor, yakni laju di mana pulsa listrik dikirim melalui transistor.
Pada frekuensi rendah, kinerja transistor InGaAs berskala nano tampak menurun. Namun pada frekuensi 1 gigahertz atau lebih, mereka bekerja dengan baik, yang berarti oxide trapping tidak lagi menjadi penghalang.
"Saat kami mengoperasikan perangkat ini pada frekuensi sangat tinggi, kami melihat kinerjanya sangat bagus," kata Cai. "Mereka bersaing dengan teknologi silikon."
Cai menyelesaikan program PhD di MIT Microsystems Technology Laboratories dan Department of Electrical Engineering and Computer Science (EECS), di bawah supervisi Donner Professor Jesús del Alamo.
Rekan penulisnya termasuk Jesús Grajal dari Polytechnic University of Madrid, serta Alon Vardi dan del Alamo dari MIT. Makalah ini akan dipresentasikan bulan ini di ajang konferensi virtual IEEE International Electron Devices Meeting.