SAFEnet: Pasal 15 RPP Postelsiar Membatasi Netralitas Internet

RPP Postelsiar adalah peraturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Alih-alih melindungi netralitas jaringan, pasal 15 di RPP Postelsiar disinyalir malah membatasinya.

oleh Arief Rahman H diperbarui 15 Feb 2021, 15:44 WIB
Diterbitkan 15 Feb 2021, 15:43 WIB
Ilustrasi jaringan internet
Ilustrasi jaringan internet. Kredit: Pete Linforth via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Organisasi sipil SAFEnet bersama dengan Open Net Association menuntut penghapusan pasal 15 pada Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Bidang Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran (RPP Postelsiar). Isi dari pasal tersebut dipandang tidak memihak kepada hak-hak pengguna internet.

Seperti diketahui RPP Postelsiar adalah peraturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Selain itu, alih-alih melindungi netralitas jaringan, pasal tersebut disinyalir malah membatasinya.

Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto menyebut Indonesia saat ini tidak memiliki aturan mengenai netralitas jaringan. Sebaliknya, hal itu malah dilanggar pada pasal 15 RPP Postelsiar pada ayat 1 dan 6.

Adanya aturan tersebut berarti penggunaan internet akan diserahkan ke mekanisme pasar.

“Kalau diserahkan ke mekanisme pasar, akan ada diskriminasi dalam layanan dan perlu membayar lebih mahal,” kata Damar dalam media briefing, Senin (15/2/2021).

Dengan begitu, pengguna secara tidak langsung akan dibebankan biaya yang perlu dibayar untuk mendapatkan pelayanan dan akses tertentu.

Sebelumnya, telah terjadi pelanggaran hak-hak digital terkait kebebasan akses konten. Yakni, saat Telkom Grup memblokir akses terhadap Netflix yang belakangan diketahui karena tidak terjadi kesepakatan kerja sama.

“Telkom memblokir Netflix itu salah satu contoh adanya pelanggaran netralitas jaringan,” ujar Damar.

 

Dampak

Lebih jauh lagi, dampaknya akan meluas ke bisnis startup yang mengandalkan kemampuan koneksi internet. Kerugian lainnya adalah tidak akan adanya keberagaman konten yang diterima dan dapat diakses oleh masyarakat luas.

Dengan Pasal 15 RUU tersebut, Indonesia akan melakukan kebalikan dari standar internasional, terutama dengan mewajibkan semua penyedia konten untuk menjalin “kemitraan” dengan operator telekomunikasi.

Jika tidak, operator telekomunikasi dapat “mengatur” lalu lintas terkait kepada penyedia tersebut.

Kemitraan yang dimaksud memungkinkan operator telekomunikasi melakukan negosiasi moneter untuk pengiriman lalu lintas data. Artinya, ada harga yang dipatok untuk mengirimkan data dalam besaran tertentu.

 

Mencontoh Korea Selatan

Pada 2016 lalu, Korea Selatan melakukan hal yang sama, yakni membatasi netralitas jaringan. Dampaknya, Kakao Talk, salah satu aplikasi populer asal Jepang tidak mampu untuk mengahadapi persaingan pasar di Korea Selatan.

Selain itu, Executive Director Open Net Association, K.S. Park menyebut banyak pelaku startup yang berpindah ke negara lain untuk mendapatkan akses internet yang netral.

“Ini adalah perlombaan menuju dasar. Indonesia, seperti Korea Selatan, memiliki oligopoli di pasar ISP, yang berarti ada bahaya nyata bahwa ISP akan menggunakan undang-undang ini untuk memberikan beban finansial yang lebih besar pada ekosistem internet, melemahkan keragaman konten dan dialog online,” tutur Park.

Senada dengan SAFEnet, Park menyebut kalau Indonesia ingin mengembangkan ekonomi digital, langkah yang perlu dilakukan adalah membuat undang-undang tentang netralitas internet.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya