Liputan6.com, Jakarta - Gerhana bulan total kembali terjadi pada hari ini, Selasa (8/11/2022). Fenomena gerhana kali ini disebut akan menjadi yang terakhir kali untuk 2022.
Mengutip informasi dari situs LAPAN, gerhana bulan total merupakan fenomena astronomis ketika seluruh permukaan Bulan memasuki bayangan inti (umbra) Bumi. Hal ini disebabkan konfigurasi Bulan, Bumi, dan Matahari yang membentuk garis lurus.
Baca Juga
Biasanya, gerhana bulan total terjadi ketika fase Bulan purnama. Namun, tidak semua fase Bulan pernama dapat mengalami gerhana bulan.
Advertisement
Alasannya, orbit Bulan yang miring 5,1 derajat terhadap ekliptika, serta waktu yang ditempuh Bulan kembali ke simpul yang sama lebih pendek 2,2 hari dibandingkan dengan waktu yang ditempuh Bulan agar berkonfigurasi dengan Bumi dan Matahari dalam satu garis lurus.
Adapun gerhana bulan total 8 November 2022 ini terjadi dengan durasi total selama 1 jam 24 menit 58 detik. Sementara durasi umbral (sebagian + total) adalah 3 jam 39 menit 50 detik.
Dijelaskan lebih lanjut, lebar gerhana bulan total kali ini sebesar 1,3589 dengan jarak pusat umbra ke pusat Bulan sebesar 0,2570. Gerhana ini termasuk dalam gerhana ke-20 dari 72 gerhana dalam seri Saros 136 (1680-2960).
Peneliti Pusat Riset Antariksa Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN Andi Pangerang menuturkan, fenomena ini bisa diamati dari Indonesia. Lantas, jam berapa dan di mana gerhana bulan total ini bisa diamati dari Indonesia? Simak informasi lengkapnya berikut ini:
Awal Penumbra (P1)
- Waktu : 15.02.17 WIB/ 16.02.17 WITA/ 17.02.17 WIT
- Seluruh Indonesia tidak dapat teramati
Awal Sebagian (U1)
- Waktu : 16.08.12 WIB/ 17.09.12 WITA/ 18.09.12 WIT
- Papua, Papua Barat, P. Seram, P. Halmahera, Kep. Aru, Kep. Kai, Kep. Tanimbar
Awal Total (U2)
- Waktu : 17.16.39 WIB/ 18.16.39 WITA/ 19.16.39 WIT
- Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi, NTT, NTB, Bali, Kaltara, Kaltim, Kalsel, Kalteng, Kapuas Hulu
Puncak Gerhana
- Waktu : 18.00.22 WIB/ 19.00.22 WITA/ 20.00.22 WIT
- Seluruh Indonesia kecuali Aceh, Sumut, Sumbar, Bengkulu
Akhir Total (U3)
- Waktu : 18.41.37 WIB/ 19.41.37 WITA/ 20.41.37 WIT
- Seluruh Indonesia dapat teramati
Akhir Sebagian (U4)
- Waktu : 19.49.03 WIB/ 20.49.03 WITA/ 21.49.03 WIT
- Seluruh Indonesia dapat teramati
Akhir Penumbra (P4)
- Waktu : 20.56.08 WIB/ 21.56.08 WITA/ 22.56.08 WIT
- Seluruh Indonesia dapat teramati
Dampak Gerhan Bulan Total
"Dampak dari gerhana Bulan total bagi kehidupan manusia adalah pasang naik air laut yang lebih tinggi dibandingkan dengan hari-hari biasanya ketika tidak terjadi gerhana, purnama maupun Bulan baru," kata Andi.
Lebih lanjut, Andi menjelaskan, saat Bulan memasuki umbra, warna umbra cenderung hitam. Seiring Bulan seluruhnya berada di dalam umbra, warna Bulan akan menjadi kemerahan.
Selain itu saat gerhana, tidak ada cahaya Matahari yang dapat dipantulkan oleh Bulan sebagaimana ketika fase Bulan Purnama. Gerhana dapat berwarna menjadi lebih kecokelatan bahkan hitam pekat jika partikel seperti debu vulkanik ikut menghamburkan cahaya.
Sebagai informasi, gerhana bulan total untuk satu dekade berikutnya yang dapat teramati di Indonesia akan terjadi pada 8 September 2025, 3 Maret 2026, Malam Tahun Baru 2029, 21 Desember 2029, 25 April 2032, dan 18 Oktober 2032.
Advertisement
Teleskop James Webb Abadikan Cincin Debu yang Kelilingi Dua Bintang Langka
Beberapa waktu lalu, teleskop James Webb menangkap gambar cincin debu berpola cantik di sekitar dua bintang yang dapat melacak perjalanan waktu, mirip dengan pola cincin di bagian dalam batang pohon.
Gambar tersebut, yang dirinci oleh Badan Antariksa Eropa dan Laboratorium Propulsi Jet (Jet Propulsion Laboratory/JPL) NASA, menunjukkan pola 17 cincin konsentris yang terdiri dari partikel debu mengelilingi dua bintang (dikenal sebagai Wolf-Rayet 140).
Menurut JPL, bintang Wolf-Rayet dianggap langka (bintang langka) di galaksi kita, dan sejauh ini hanya 600 yang telah ditemukan. Demikian sebagaimana dikutip dari Engadget, Jumat (1310/2022).
Wolf-Rayet 140 juga satu-satunya sistem yang ditemukan memiliki pola cincin jenis ini, karena bentuk orbitnya yang aneh alias memanjang.
Reaksi Dua Bintang Saling Berdekatan
Cincin itu sebagian dari reaksi yang terjadi ketika kedua bintang saling berdekatan, setiap delapan tahun sekali, membentuk semacam 'sidik jari' di sekitar bintang.
“Setiap cincin tercipta ketika dua bintang saling berdekatan dan angin bintang (aliran gas yang mereka tiup ke luar angkasa) bertemu, mengompresi gas dan membentuk debu,” jelas Badan Antariksa Eropa.
“Orbit bintang menyatukan mereka setiap delapan tahun sekali, seperti lingkaran batang pohon, lingkaran debu menandai berlalunya waktu,” sambungnya.
Gambar yang ditangkap James Webb juga menunjukkan tingkat detail yang cukup dalam. Sebelum penangkapan ini, para ilmuwan yang menggunakan teleskop berbasis darat hanya bisa melihat dua cincin debu di sekitar Wolf-Rayet 140.
(Dam/Isk)
Advertisement