Bos Microsoft dan Petinggi OpenAI Hadiri Pertemuan Rahasia Bilderberg 2023 di Lisbon, Teknologi AI Jadi Agenda Utama

CEO Microsoft, mantan bos Google, dan bos OpenAI ini akan bergabung dengan sosok elite dunia, termasuk mantan Menteri Luar Negeri AS, Sekretaris Jenderal NATO, dan Menteri Luar Negeri Ukraina dalam pertemuan rahasia Bilderberg 2023 di Lisbon.

oleh Yuslianson diperbarui 20 Mei 2023, 15:28 WIB
Diterbitkan 20 Mei 2023, 15:28 WIB
Ilustrasi OpenAI
Ilustrasi OpenAI (Sumber: Getty Images)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah petinggi teknologi di dunia, seperti CEO Microsoft, mantan bos Google, dan bos OpenAI disebut-sebut akan menghadiri pertemuan rahasia Bilderberg 2023 di Lisbon, Portugal.

Diketahui, Satya Nadella, Eric Schmidt, dan Sam Altman hanyalah beberapa nama besar di dunia teknologi yang menghadiri pertemuan selama tiga hari dari 18-21 Mei 2023 ini.

CEO Microsoft, mantan bos Google, dan bos OpenAI ini akan bergabung dengan sosok elite dunia, termasuk mantan Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger; Sekretaris Jendarl NATO, Jens Stoltenberg; dan Menteri Luar Negeri Ukraina, Dymtro Kubela.

Secara keseluruhan, sekitar 130 peserta dari 23 negara akan menghadiri pertemuan pribadi tersebut–jumlah yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya, sebagaimana dikutip dari CNBC, Sabtu (20/5/2023).

CEO Pfizer, Albert Bourla; kepala BP, Bernard Looney; CEO TotalEnergies, Patrick Pouyanne; investor Peter Theil dan sejumlah politisi Uni Eropa juga akan hadir.

Karena pertemuan Bilderberg ini bersifat tertutup dan rahasia, masih belum diketahui secara pasti apa saja yang dibahas.

Walau begitu, banyak teori yang menyebutkan para peserta pertemuan sedang membahas "Tatanan Dunia Baru". Namun, pihak penyelenggara menepis rumor konspirasi itu dengan merilis agenda pertemuan tahun ini.

Adapun sejumlah topik kunci tahun ini mencakup isu global, di mana salah satu pembahasan utamanya adalah perkembangan teknologi AI.

Kabarnya, CEO OpenAI Sam Altman dan bos Microsoft Satya Nadella diharapkan bakal memimpin pembicaraan tentang pesatnya perkembangan AI dan bagaimana teknologi itu bisa mempengaruhi kehidupan di masa mendatang.

Walau teknologi AI saat ini menjadi sorotan, dengan kemunculan OpenAI ChatGPT hingga Google Bard, pertemuan Bilderberg ke-69 juga membahas topik panas lain yang terjadi di dunia saat ini.

Salah satu topik yang dibahas dalam pertemuan Bilderberg tahun ini, termasuk ancaman ditimbulkan oleh China, perang Rusia-Ukraina, perubahan iklim dan sistem perbankan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Apa itu Pertemuan Bilderberg yang Dihadiri Elite Dunia?

CEO Microsoft, Satya Nadella (Liputan6.com/Jeko Iqbal Reza)

Memasuki tahun ke-69, pertemuan Bilderberg pertama kali digelar pada tahun 1954 untuk “mendorong dialog” antara Eropa dan Amerika Utara.

Dalam situs resminya tertulis, saat ini ada sekitar dua pertiga peserta berasal dari Eropa dan sisanya dari Amerika Utara.

"Sekitar seperempat dari politik dan pemerintahan dan sisanya dari bidang lain," sebagamana dikutip situs resminya via CNBC, Sabtu (20/5/2023).

Seperti biasa, kunci dalam pertemuan ini adalah kerahasiaan. Peserta mengambil bagian sebagai individu, bukan dalam kapasitas resmi apa pun.

“Bilderberg Meeting adalah forum diskusi informal tentang isu-isu besar. Pertemuan diadakan di bawah Chatham House Rule, yang menyatakan peserta bebas menggunakan informasi yang diterima, tetapi identitas atau afiliasi pembicara atau peserta lain tidak boleh diungkapkan,” kata penyelenggara.

Acara ini digelar Foundation Bilderberg Meeting, yang diatur oleh komite pengarah bergilir, dan didanai melalui berbagai cara.

Tidak ada biaya kehadiran untuk acara tersebut, meskipun partisipasi hanya untuk undangan dan peserta diharapkan untuk mengurus biaya perjalanan dan akomodasi mereka sendiri.


Google Search Berbasis AI Berpotensi Hancurkan Industri Media Online

Ilustrasi Mesin Pencari, Google Search. Kredit: Photo Mix via Pixabay

Google mengumumkan sejumlah fitur baru pada konferensi pengembang tahunan Google I/O 2023 di Mountain View, California, Amerika Serikat pada minggu lalu, termasuk smartphone lipat Pixel Fold dan Android 14 Beta 2.

Dari sejumlah produk baru yang diumumkan Google, ada satu pembaruan yang tidak mendapat banyak perhatian di luar lingkaran teknologi. Hal ini bisa dibilang merupakan perubahan paling radikal di industri internet sejak Google menjadi mesin pencari terbesar di dunia pada awal 2000-an.

Perusahaan berencana untuk mengubah cara menyajikan hasil mesin pencari (Google Search) dengan menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Dengan segala risiko potensi konsekuensinya, itu akan seperti menjatuhkan 'bom nuklir' pada industri penerbitan online (terutama media online) yang sedang berjuang untuk bertahan hidup.

Google mendemonstrasikan rencananya untuk menggunakan AI generatif dalam hasil mesin pencari. Ya, Google baru meluncurkan chatbot AI yang mereka garap, Bard, untuk bisa dijajal oleh masyarakat umum. Meski begitu, platform ini masih dalam tahap uji coba.

Google menggunakan contoh permintaan pencarian yang berbunyi "Apa yang lebih baik untuk keluarga dengan anak di bawah 3 tahun dan anjing, Bryce Canyon atau Arches National Parks?"

Kueri tentang taman nasional AS di Penelusuran Google konvensional belum tentu memberikan jawaban yang komprehensif. Tapi, seperti yang bisa kamu lihat dari tangkapan layar di bawah, pencarian berbasis AI memberikan jawaban dalam gaya percakapan yang mempertimbangkan usia anak-anak dan anjing.

 


Cara Kerja AI Generatif

<p>Google mendemonstrasikan seperti apa Google Penelusuran di masa mendatang, yang diberdayakan dengan AI. Credit: Google </p>

Bagaimana semua ini bekerja? AI generatif pada dasarnya berfungsi sebagai trik sulap. AI dilatih dengan 'membaca' semua yang tersedia di web terbuka, dan menggunakan informasi tersebut untuk merumuskan jawaban atas pertanyaan dengan nada percakapan.

“Kemudian jika ingin menggali lebih dalam, ada tautan yang disertakan dalam snapshot tersebut,” jelas Google dalam pemaparannya, seperti dikutip dari Forbes, Senin (15/5/2023).

Mengapa teknologi itu akan merugikan industri penerbitan online (media online)? Karena pada dasarnya Google membuat jawaban atas pertanyaan sulit menggunakan semua konten yang tersedia di web terbuka, namun pengguna Google Search tidak perlu mengunjungi halaman yang benar-benar berisi informasi tersebut.

Sementara, industri penerbitan online modern mengharuskan pengguna untuk mengunjungi halaman berita untuk mendapatkan iklan dan langganan. Itu berlaku untuk penerbit besar seperti New York Times dan Forbes serta penulis dan jurnalis independen yang menulis di tempat-tempat seperti Substack dan Twitter.

Pertanyaan adalah apakah tautan di sebelah kanan, yang dilingkari di bawah ini akan mendapatkan klik?

Google coba meyakinkan itu benar-benar akan menghasilkan klik, karena perusahaan berusaha untuk transparan tentang dari mana mereka mendapatkan semua informasi ini.

Namun kontributor Forbes, Matt Novak, berpendapat ini seperti menyarankan agar orang mengklik sumber Wikipedia, yang ada di bagian bawah setiap entri ensiklopedia online.

"Tentu, seseorang yang sangat tertarik dengan topik tersebut mungkin mengeklik tautan. Tetapi sebagian besar pengguna hanya akan membaca entri Wikipedia tanpa mengkhawatirkan semua sumbernya," demikian menurut Novak.

"Demi keadilan untuk pengguna internet, itu adalah cara yang sepenuhnya normal untuk berfungsi. Saat kamu ingin tahu tentang, katakanlah, kota tempat Walt Disney dilahirkan, kamu tentu ingin mengetahuinya secepat mungkin. Kamu hanya ingin tahu jawaban atas trivia itu," tulis Novak.

(Ysl/Isk)

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya