Liputan6.com, Jakarta - Belum seminggu dari lumpuhnya Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 karena serangan siber ransomware Brain Cipher, data hasil peretasan milik beberapa lembaga diduga bocor di media sosial.
Meski begitu menurut Pengamat Keamanan Siber sekaligus pendiri Vaksincom Alfons Tanujaya menduga, kalau aksi tersebut tidak berkaitan dengan serangan ransomware ke PDNS 2.
Baca Juga
"Kebocoran data yang lain, yang diduga Inafis, BAIS, Departemen Perhubungan, Kominfo, itu menurut saya tidak berkorelasi dengan PDN," kata Alfons, ditemui usai diskusi tentang Ransomware di Jakarta, Selasa (2/7/2024).
Advertisement
Pasalnya, menurut Alfons, para peretas bisa mengunduh data instansi pemerintah itu, tetapi data-data tersebut terenkripsi.
"Mereka juga nggak bisa membuka, sama seperti kita tidak bisa melihat data yang dienkripsi, mereka juga tidak bisa melihat data yang dienkripsi oleh sistem VMware. Jadi kemungkinan itu berbeda," katanya.
Sebelumnya, data diduga milik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kementerian Kominfo) disebut-sebut telah bocor.
Bahkan, data yang diduga milik Kominfo ini dijajakan oleh hacker di situs jual beli hasil peretasan, BreachForums, dengan harga USD 121.000 atau setara Rp 1,9 miliar.
Informasi soal kebocoran data ini diungkap oleh akun X.com FalconFeeds.io (@FalconFeedsio) belum lama ini. Adapun penjual dari data-data yang diduga milik Kominfo ini adalah akun Aptikakominfo.
Data-data milik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang diduga bocor itu berisikan berbagai jenis data. Mulai dari data-data pribadi meliputi NIK, detail rekening perbankan, hingga nomor rekening.
Lalu, ada pula data berupa lisensi software sistem keamanan dan dokumen kontrak dari Pusat Data Nasional dari tahun 2021-2024.
Sang hacker juga memberikan sejumlah sampel untuk membuktikan kalau data yang dia jual itu benar adanya. Sampel tersebut meliputi lisensi software, nomor induk kependudukan (NIK), hingga detail rekening dan nomor bank.
Pengamat Keamanan Siber Beberkan Cara Ampuh Agar Data Pemerintah Terlindung dari Ransomware
Serangan ransomware Brain Cipher terhadap Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 sempat membuat sejumlah layanan publik mengalami kelumpuhan, salah satu yang terparah adalah layanan Imigrasi.
Selain Imigrasi, akibat serangan ransomware ini, data-data milik 282 instansi pemerintah dienkripsi sehingga tak bisa diakses dan menganggu berjalannya layanan publik.
Pengamat Keamanan Siber sekaligus pendiri Vaksincom Alfons Tanujaya pun membeberkan hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan pengelola data agar kejadian serupa tak terjadi lagi di masa yang akan datang.
"Satu-satunya cara adalah kita menerapkan standar keamanan yang baik dan benar. (Standar) itu mudah dicari, misalnya ISO 270001 ada, mau cari standar pengamanan ransomware ada," kata Alfons, ditemui di Jakarta, Selasa (2/7/2024).
Menurutnya, yang sulit dalam mengelola data bukan bagaimana standar keamanannya tetapi bagaimana menjalankan standar keamanan siber itu dengan konsisten.
Ia bahkan mengibaratkan penerapan standar keamanan layaknya seseorang yang tengah berdiet, semuanya harus konsisten dan tak boleh dilanggar.
"Sama seperti keamanan siber, perlu mengubah kebiasaan. Kalau mau aman itu harus ubah bagaimana cara kita memandang data. Admin harus mengubah cara pandang, dalam mengelola data," tuturnya.
Alfons memandang sejauh ini permasalahan di pemerintah adalah sifat tender proyek, termasuk tender soal keamanan data, yang memiliki jangka waktu.
"Khusus di pemerintahan yang kebanyakan berbasis proyek, kalau sudah dapat proyek, sudah selesai, ditinggal. Padahal, security itu adalah komitmen jangka panjang yang harus dijaga terus, perlu di-maintain," ia menuturkan.
"Menjaga kebiasaan keamanan data itu yang sulit, kita bisa membangun sesuatu yang besar, tetapi menjaganya yang berat karena itu hal yang harus rutin dilakukan. Mengubah gaya hidup untuk selalu aman itu butuh kesadaran. Apalagi, pengelola harus tau kalau data itu adalah amanah," tuturnya.
Advertisement
Perlunya Backup
Dalam diskusi mengenai ransomware yang digelar oleh Vaksincom, disebutkan juga berbagai cara untuk menghindari kelumpuhan layanan ketika pusat data terdampak serangan ransomware.
Pertama, lembaga perlu melakukan backup data secara teratur.
"Menurut peraturan undang-undang memang tidak diwajibkan untuk backup, dan itu yang terjadi mungkin budget dipoyong, mau backup tidak ada budget, sehingga tidak difasilitasi (untuk backup), padahal orang (pengelola data) pasti tahu pentingnya," kata Alfons.
Alfons mengatakan, disanderanya data-data instansi pemerintah yang disimpan PDNS 2 menjadi pelajaran berharga, bahwa tiap-tiap lembaga harus melakukan backup.
Kedua, pemerintah dan pengelola data perlu melakukan update atau pembaruan perangkat keamanan ke versi yang terbaru serta memperbarui sistem dan aplikasi.
Selanjutnya, organisasi atau pengelola data mestinya mengaktifkan fitur keamanan. Lalu, pengelola data mesti mengedukasi setiap pengguna layanan data center terkait bagaimana mengamankan data hingga perlunya backup data.
Batasi Hak Akses
Selain itu, pengelola data mesti membatasi hak akses terhadap kunci data center itu sendiri. Biasanya, hanya orang-orang yang mengurus masalah infrastuktur IT yang memiliki hak administrator.
Lalu, pengelola juga bisa menggunakan kontrol akses apabila tenant atau pengguna ingin mengakses fitur penting.
Selanjutnya, pengelola data juga perlu memonitor aktivitas jaringan, melakukan segmentasi jaringan, memakai software khusus anti ransomware untuk menghindari serangan ransomware, serta mengaktifkan pengaturan keamanan tambahan.
Menurut Alfons, proses-proses ini harus dilakukan dengan konsisten dan terus menerus. Misalnya untuk mem-backup data, hingga memberikan batasan akses dan memperbarui software dan lain-lain untuk menjaga keamanan data.
Advertisement