Adipratnia Satwika Asmady: Meski Negara Terbesar Keempat di Dunia, Indonesia Masih seperti Sleeping Giant

Selama satu tahun di Prancis dia harus bisa mengambil keputusan besar untuk mewakili perusahaan dan memastikan Satria-1 dibuat sesuai dengan yang diharapkan.

oleh Rinaldo diperbarui 11 Jul 2024, 15:03 WIB
Diterbitkan 11 Jul 2024, 15:03 WIB
satria
Perancang Satelit Satria-1, Adipratnia Satwika Asmady. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Indonesia patut berbangga karena memiliki Satelit Republik Indonesia (Satria)-1 yang merupakan satelit multifungsi terbesar di Asia dan nomor lima di dunia. Satelit yang diluncurkan dari Cape Canaveral Space Launch Complex 40 (SLC 40) di Florida, Amerika Serikat pada 19 Juni 2023 itu bakal mendukung infrastruktur digital bagi fasilitas-fasilitas publik di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Namun, tak banyak yang tahu ada andil besar dari seorang perempuan muda Indonesia dalam peluncuran Satria-1. Bahkan, peran anak muda bernama Adipratnia Satwika Asmady itu sudah dimulai sejak proses perancangan hingga saat satelit diluncurkan ke luar angkasa.

Nia, demikian dia biasa disapa, lahir di Jakarta pada 24 Agustus 1993 dan merupakan anak kedua dari pasangan Asmady Parman dan Adiyatwidi Adiwoso. Mengaku sudah tertarik pada fenomena alam sejak duduk di bangku sekolah dasar, jalan pendidikan yang ditempuh Nia terbilang mulus.

Mengambil jurusan ilmu pengetahuan alam di bangku sekolah menengah atas membuat Nia makin mencintai ilmu matematika dan fisika. Ditambah lagi dengan dukungan keluarga serta pengaruh sang ayah yang berprofesi sebagai insinyur membuat dia makin tertarik dengan jurusan teknik.

Hal inilah yang membuat Nia mantap berangkat ke Amerika Serikat dan menimba ilmu di jurusan teknik kedirgantaraan atau Aerospace Engineering di California Polytechnic State University. Menamatkan Pendidikan S1 dan S2 di kampus yang sama, Nia sudah membayangkan bakal berkarier di dunia penerbangan, lebih spesifiknya pesawat tanpa awak.

Namun kenyataan berkata lain. Pulang ke Indonesia dan langsung bekerja di PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) pada 2017, Nia malah berurusan dengan dunia satelit. Pada 2019 dia dilibatkan sebagai Project Management Office untuk proyek satelit Nusantara 1 (N1).

Selama proyek ini berjalan, Nia sempat ditugaskan selama sebulan di Amerika Serikat untuk mengawasi dan memonitor pengerjaan satelit N1. Namun, di Satelit Nusantara 1 dia tak dilibatkan dalam desain dan perancangan. Hal ini berbeda ketika proyek Satria-1 mulai digarap pada 2020.

Pemegang sertifikat Airman of Airport Guides dari San Luis Obispo, California, Amerika Serikat ini didapuk PSN sebagai Project Manager untuk pembuatan Satria-1 dan sebagai Customer Project Launch Director di SpaceX pada saat peluncurannya nanti, sebuah posisi yang kali pertama dipegang seorang perempuan Indonesia.

Dalam posisi sebagai Project Manager, Nia terjun langsung mulai dari proses desain, negosiasi kontrak dengan pemerintah, hingga mengawasi proses perakitan di Thales Alenia Space, Prancis. Selama satu tahun di Prancis dia harus bisa mengambil keputusan besar untuk mewakili perusahaan dan memastikan Satria-1 dibuat sesuai dengan yang diharapkan.

Tekanan yang dihadapi Nia memang besar. Tak boleh ada kesalahan dalam proyek senilai US$ 545 juta atau setara Rp7,68 triliun ini. Alasannya sederhana, satelit tak bisa diperbaiki Ketika sudah berada di angkasa, sehingga semuanya harus sempurna sebelum diluncurkan. Dan semua tanggung jawab itu berada di pundak penyuka lagu-lagu Beyonce ini.

Setelah tiga tahun masa pengerjaan, Satria-1 selesai diproduksi dan dikirim ke Florida, Amerika Serikat pada Juni 2023. Saat paling menegangkan bagi Nia terjadi pada 19 Juni 2023, Ketika Satria-1 diluncurkan dari Cape Canaveral Space Launch Complex 40 (SLC 40) di Florida.

Ketegangan memuncak ketika Nia sebagai Customer Project Launch Director harus memberi komando jadi atau tidaknya Satria-1 diluncurkan dari fasilitas ruang kontrol panel yang tertutup. Nia mengaku perasaannya bercampur aduk ketika roket Falcon-9 milik SpaceX meninggalkan Bumi menembus angkasa menuju orbitnya di 163 Bujur Timur (BT) atau tepatnya di atas tanah Papua.

Terbayar sudah semua kerja keras dan keputusan untuk pulang dan mengabdi di Tanah Air. Dia juga bersyukur karena PSN telah memberi peluang besar baginya sebagai anak muda mengerjakan proyek strategis dan memberi ruang yang luas kepada perempuan untuk berkarier di dunia yang lebih banyak diisi kaum pria.

Kini, setelah Satria-1 memancarkan jaringan internet untuk menjangkau pelosok-pelosok Indonesia dan memberikan kesetaraan akses digital bagi seluruh pengguna, apa lagi mimpi Nia yang belum terwujud?

Berikut petikan wawancara Adipratnia Satwika Asmady dengan Sheila Octarina dalam Bincang Liputan6.

Berawal dari Kebetulan

satria
Perancang Satelit Satria-1, Adipratnia Satwika Asmady. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Bagaimana awal mulanya Nia terjun ke dunia antariksa dan satelit ini?

Pertama-tama memang dari kecil interest di IPA karena dibangun oleh Ayah. Jadi science project dan matematika dan IPA selalu di-guide oleh Ayah. Jadi mungkin bibitnya mulai dari situ. Terus pada saat mau pilih jurusan kuliah memang banyak opsi di bidang teknik. Tapi karena Ayah juga lulusan mesin sama industri, jadi Beliau juga suggest, ya kamu bisa coba cari tahu tentang teknik mesin, katanya.

Jadi mungkin awalnya dari situ saat memilih jurusan kuliah. Terus pada saat sudah masuk kuliah juga masih ada opsi untuk berubah jurusan, dan di situ setelah ngobrol-ngobrol dengan profesor dan teman-teman, banyak yang bilang aerospace itu sama seperti teknik mesin, cuma lebih menjurus.

Nah, itu mungkin awal dari karier di aerospace, di mana sebetulnya kebetulan saja, dan setelah kuliah juga kebetulan tadinya pengen studi di teknik penerbangan tapi belum dapat kesempatan. Akhirnya balik ke Jakarta dan dapat lowongan di PSN dan sekarang bergerak di bidang satelit.

Nah, di PSN ternyata ditugaskan merancang Satelit Satria-1, pasti ini sulit ya?

Ya sulit memang, karena ini bukan bidang saya awalnya. Tadinya pengen di penerbangan dan sudah ada visi tersendiri. Tiba tiba terjun di Jakarta kerja dan ada adjustment juga tinggal di Indonesia. Lalu mulailah ada proyek Satria ini.

Dan alhamdulillah waktu itu saya memang mulai dari awal tender dan untuk mengikuti arung jeram sebuah proyek nasional di tingkat yang memang stakeholder-nya tuh banyak sekali dan kompleksitasnya tuh benar-benar enggak hanya masalah teknis, cuman non-teknisnya dari segi pendanaan, politik, dan juga bagaimana cara untuk menggabungkan banyak effort dari banyak orang dan di komunitas internasional untuk mewujudkan suatu mimpi Indonesia mempunyai akses internet yang merata dan juga membangun ekonomi kita dari segi telekomunikasi.

Sebagai project manager Satria-1, secara spesifik tugas Nia apa saja?

Sebetulnya project management dari awal sudah ada, dan memang project management itu suatu bidang yang sebagian itu art dan sebagian ada sisi skill setnya. Tapi selama proyeknya berjalan ada project management, yaitu management informasi antara stakeholder dan make sure bahwa semua due diligence, teknis dan non-teknis itu dilakukan.

Dan sebetulnya sih kalau saya bilang itu seperti mencoba untuk mengatur cuaca. Jadi di setiap proyek, apalagi proyek strategis nasional dengan stake holder pemerintah dan juga landers, financial bankers, dan juga kita sebagai eksekutor itu persepsi terhadap proyeknya pasti beda-beda.

Dan mungkin prioritas dan kepentingannya, flavor-nya beda-beda. Jadi bagaimana kita manage itu semua supaya cuacanya selalu cerah dan terang, dan semua orang merasa bahwa proyeknya tereksekusi dengan baik.

Tentu saja untuk mewujudkan itu butuh riset mendalam dan diskusi yang intens?

Iya, dan sebetulnya core dari yang saya rasakan memang ya people skill, karena at the end of the day yang menggerakkan mesin proyek itu orang-orang yang terlibat dari meeting, diskusi, ada isu, bagaimana kita handle isu itu. Nah itu core-nya memang saya rasa di people management dan komunikasi.

Karena tadi saya bilang, semua orang mempunyai persepsi yang berbeda-beda terhadap sebuah proyek dan bagaimana kita menyelaraskan supaya semua orang merasa risikonya terjaga dan proyeknya berjalan dengan lancar.

 

 

Perasaan Campur Aduk saat Peluncuran

satria
Perancang Satelit Satria-1, Adipratnia Satwika Asmady. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Saat menjadi Customer Project Launch Director Satria-1 pasti menegangkan sekali ya?

Itu mungkin salah satu highlight dan recognition terbesar yang saya pernah dapatkan karena memang involved di proyeknya sudah lama, dan peak dari banyak program satelit adalah pada saat peluncuran. Jadi untuk bisa dapat amanah bahwa kamu jadi Customer Launch Director itu membanggakan dan juga menegangkan, seperti melancholy atau bittersweet moment.

Perasaan campur aduk, karena saya bangga bahwa sudah sampai di titik pada saat peluncuran dan mungkin risikonya juga tinggi. Apabila ada failure launch itu akan sangat traumatic. Tapi ya semuanya dijalani saja dan kita coba ambil aspek positifnya bahwa sudah dipercayakan dan kalau memang bukan saatnya ya dijalani juga.

Pasti butuh persiapan yang panjang hingga akhirnya siap diluncurkan?

Proses itu sebetulnya berjalan selama sebulan untuk persiapan peluncuran. Jadi pada saat hari H itu ya ketegangannya lebih di saat, oke, is it successful or not?

Tapi momen-momen menuju itu sebetulnya kita juga semua sudah mendapatkan sense of clarity, apakah sudah siap? Apakah kita sudah melakukan semua preparation yang memang dibutuhkan? Dan pada saat hari H, ya wallahualam, apabila memang terjadi sesuatu yang kurang, ya itu bagian dari industri antariksa.

Kalau ditarik ke belakang, sebenarnya cita-cita Nia mau jadi apa?

Kalau cita-cita dari kecil berubah-ubah. Saya tipe yang memang orangnya mengalir dan kebetulan karena pindah-pindah, jadi ya mimpi saya juga pindah-pindah seiring waktu saya beranjak besar. Jadi sempat pengen jadi novelis, sempat pengen jadi fashion designer, sempat pengen kerja di Broadway Show juga.

Artinya Nia juga suka dengan dunia seni?

Iya, kayaknya itu salah satu yang aku juga tarik ke bidang aku di mana ya tadi project management itu banyak core skill di people management. Dan ya, seni dan art itu bagian besar dari memiliki empati dan cara kita handle banyak orang.

Nah, suka dukanya selama menangani proyek ini apa saja?

Banyak suka dukanya. Sukanya bisa berkenalan dengan banyak orang dari berbagai budaya, terutama kita bekerja sama dengan orang Prancis. Sebelumnya saya ya hanya spekulasilah bahwa stereotype orang Prancis itu arrogant dan snobby gitu.

Apakah benar? Ya ada element of truth, cuma ketika bekerja sama dengan orang Prancis selama empat tahun itu banyaklah orang-orang yang saya kenal yang tidak seperti itu. Jadi exposure terhadap ekspektasi beberapa budaya dan mengenal suatu budaya lebih dalam, itu bagian yang saya sangat gemari dan saya kebetulan juga banyak berinteraksi dengan expert yang jauh di atas saya.

Jadi untuk bisa mendengar kisah-kisah kehidupan mereka. Apalagi di karier sebagai space engineer, mereka mempunyai cerita kegagalan peluncuran atau program yang enggak jalan. Jadi itu salah satu yang menjadi sukalah di bidang dan perjalanan ini.

Mungkin dukanya banyak risiko manajemen atau keputusan yang harus kita ambil. Dengan informasi yang tidak cukup atau making hard decisions. Ya, karena memang kita harus gerak cepat atau ya ini yang kita punya dan kita harus keep going.

Dan juga tentunya dukanya harus berpisah dengan tim yang kita sudah kerja face to face, day to day selama empat tahun, dan kebetulan yang program manager di Satria di sisi orang Prancis juga ini program terakhir dia, jadi dia pensiun setelah Satria. Jadi banyak kisah-kisah yang kayak oke, bittersweet farewell.

Selain soal budaya, bagaimana dengan cara kerja, apakah ada perbedaan yang signifikan dengan orang Indonesia?

Saya rasa salah satunya adalah budaya Indonesia atau Asia itu sangat kolektivis, sedangkan budaya barat lebih individualis. Jadi mungkin masalah komunikasi kalau Indonesia itu birokrasinya masih sangat kental, dan decision making memang layer-nya mungkin lebih tebal daripada di budaya barat.

Demikian juga dengan komunikasi, mungkin mereka sangat straight to the point, sedangkan budaya timur kita masih harus sopan, harus baca situasi dan kondisi, dan kita sangat peka terhadap bagaimana sebuah message itu disampaikan.

Tapi waktu bekerja sama dengan mereka Nia tak merasa kesulitan kan?

Tidak sih. Memang kita harus bisa membaca kondisi urgency dari sebuah keputusan atau memiliki understanding terhadap risiko yang dihadapi. Karena semua keputusan pasti ada risikonya.

Jadi saya belajar selama proyek ini bahwa ya memang untuk bisa memahami risiko kita harus ngobrol dengan orang-orang, memahami menurut mereka bagaimana, dan apa kepentingan kita dan apa kepentingan mereka. Dari segi cost, schedule, dan sebagainya. Dan di situlah yang memang banyak kendala, tapi juga banyak belajar.

Minoritas yang Punya Kelebihan

satria
Perancang Satelit Satria-1, Adipratnia Satwika Asmady. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Sebagai perempuan yang bekerja di dunia yang mayoritas diisi laki-laki, apakah Nia merasakan tekanan?

Kebetulan saya juga sering ditanya pertanyaan ini dan jawaban saya selalu sama, bahwa pribadi saya tidak merasa ada perbedaan atau kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. Kita sama-sama. Saya malah merasa sebagai perempuan mempunyai advantage tersendiri, karena ya sebagai minoritas.

Tapi secara komunikasi juga mungkin kadang berbeda. Dan perempuan mungkin lebih peka dan lebih kalem. Dan di situlah mungkin ada saatnya saya harus belajar keras atau lebih asertif, dan ada waktunya oke, kita melembut dan kita menjadi pencair suasana.

Tapi mungkin karena saya juga cukup dekat dengan Kakak dan Ayah saya, jadi persepsi bahwa oh perempuan itu berbeda dengan laki-laki, iya itu betul, tapi secara kapasitas untuk karier dan sebagainya tidak terasa sih.

Selama berkarier, momen apa yang paling berkesan bagi Nia?

Selain dari experience peluncuran dan mengawal proyek ini, ya pada saat operational juga itu milestone yang sangat amat spesial karena itulah momen di mana oke pekerjaan kita selama 5 tahun itu buahnya terlihat.

Jadi kalau misalkan disuruh pilih momen, mungkin momennya peluncuran. Tapi untuk kebanggaan saya selama karier yang pendek ini ya tentunya melihat result dari pekerjaan bertahun-tahun untuk bisa oke, kita serahterimakan ini sistem kita sudah siap melayani masyarakat.

Kalau momen yang paling sulit?

Mungkin transisi dari responsibility. Pada saat sudah diberikan, oke kamu manage proyek ini dan ditugaskan di Prancis dan menjadi muka dari proyek ini, dan first line of defense itu cukup membutuhkan confidence growth yang pesat dan perubahan mental dan juga sikap secara profesional.

Siapa sosok yang menjadi inspirasi Nia?

Salah satunya CEO dari PSN, Pak Adiwoso. Mungkin saya belajar banyak dari Beliau mengenai bagaimana itu tadi, me-manage sebuah situasi yang kompleks dengan berbagai macam warna dari kepentingan, urgency, dan juga banyak pihak yang mungkin daya tariknya berbedalah. Tapi Beliau bisa selalu dengan tenang. Oke, ini masalah kita dan bagaimana kita bisa menyikapinya.

Beliau tahu kapan harus marah dan kapan harus tenang dan juga melihat Beliau membimbing timnya dan juga perusahaan yang selama 30 tahun tentunya tidak mudah, apalagi dalam market yang sangat dinamis dan industri yang sangat kecil sebetulnya di Indonesia.

Jadi mungkin itu yang paling dekat di hati. Tapi saya juga coba mencari inspirasi dari tokoh-tokoh lain. Dan sepanjang masa saya merasa lebih mencari inspirasi di orang-orang yang saya kenali dan saya berinteraksi.

Dengan usia yang masih sangat muda, apa lagi yang ingin Nia capai?

Ya tentu masih banyak. Salah satunya apabila ada kesempatan sekolah lagi, mungkin S3, dan salah satu impian saya juga membangun budaya research and development di Indonesia dan bagaimana kita bisa mewujudkan suatu teori dan suatu yang mungkin hanya ide menjadi sesuatu yang dipakai di industri. Dan mungkin jalan-jalan melihat dunia dan budaya lainnya.

Apakah Nia masih memegang kendali atas Satelit Satria-1 yang sudah mengorbit?

Sudah transisi kepada tim operasi, mereka yang lead, tapi saya tahu juga sudah kurang lebih 2.000 site instalasi yang sudah berjalan, dan rencananya juga mungkin tahun ini akan men-deploy sekitar 30.000 terminal di berbagai puskesmas, sekolah, dan juga kantor pemerintahan.

Dan so far sih ya berjalan lancar, tapi sekali lagi membutuhkan effort dari berbagai pihak, juga dari pemerintahan dan sisi perusahaan private untuk bisa mewujudkan deployment ini.

 

Impian Indonesia Jadi Pemain di Antariksa

satria
Perancang Satelit Satria-1, Adipratnia Satwika Asmady. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Apa nih proyek PSN berikutnya yang melibatkan Nia?

Sekarang PSN sedang mencoba eksplorasi di bidang antariksa yang baru. Judulnya sih Low Earth Orbit. Jadi sebelumnya kita memang fokus di satelit yang berada di orbit geo atau geosynchronous. Sekarang ada new buzz area, yaitu Leo, dan PSN mencoba untuk keep up with the technology dan sekarang mencoba belajar teknologi di Leo.

Biasanya kita menyebutnya Leo Constellation. Jadi itu satelitnya lebih kecil tapi lebih dekat dari permukaan bumi. Sebelumnya untuk geo itu 36.000 kilometer jauhnya. Nah, untuk Leo itu lebih kecil tapi membutuhkan lebih banyak satelit. Dan itu kira-kira ketinggiannya 500 sampai 1.000 kilometer di atas permukaan bumi.

Jadi fisikanya sangat berbeda dan pemainnya juga sangat berbeda. Banyak yang bergerak atau tumbuh dari start up. Sedangkan untuk operator geo itu classical telco companies. Jadi sekarang memang kita di tengah transisi atau eksplorasi terhadap bidang baru di sisi space industry.

Itu fungsinya buat apa?

Macam-macam. Jadi kalau untuk cuaca itu pasti di orbit yang lebih dekat. Telekomunikasi juga bisa. Lalu untuk monitoring, earth observation kita sebutnya.

Bisa untuk memantau iklim juga?

Ya, bisa. Untuk cuaca atau weather monitoring. Jadi lebih itu data analytics-nya. Jadi si satelitnya itu sebagai mata dan extension dari kapasitas observation kita, lalu datanya diambil terus diolah seperti mungkin kalau kita ingin melihat perubahan hutan di Kalimantan.

Setiap hari satelit itu akan foto dan kita bisa membuat sebuah timelapse. Selama dua tahun perubahan hutan di Kalimantan seperti apa, contohnya.

Tadi soal fisika segala macam, apakah saat ini Nia masih menguasai berbagai rumus itu enggak?

Enggak. Jadi kalau di bidang engineering itu ada yang menjadi spesialis dan mereka mendalami apa pun topik mereka dan juga ada generalist. Nah, biasanya kalau yang generalist itu tahu sedikit tentang banyak hal, tapi mungkin harus bertanya kepada spesialis untuk rumus-rumusnya atau modelingnya kayak gimana. Nah di situ harus ada symphony dan orchestra lah dari berbagai bidang dan tipe-tipe engineer.

Di PSN sendiri saat ini Nia sedang mengerjakan apa?

Ya sekarang fokusnya project development, jadi mencari proyek baru. Dan harapannya kita membangun sebuah revolusi di bidang STEM dan antariksa. Karena kami semua merasa antariksa itu akan berperan sangat besar ke depannya.

Tadi saya sudah sempat mention GPS, navigasi, aplikasi yang daily, weather atau macetnya di mana, itu semua berhubungan dengan teknologi satelit. Tanpa diketahui, sebetulnya antariksa sudah menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari. Makanya kita juga ingin Indonesia nantinya menjadi player yang lebih besar dan lebih mandiri.

Kita bisa bikin satelit sendiri. Kita bisa meluncurkan satelit sendiri, dan itu visi yang sangat besar dan ambisius. Tapi kami rasa apabila ada dukungan domestik dan juga ada recognition dari masyarakat bahwa ya kita harus membangun field di STEM ya, Science, Technology, Engineering and Mathematics, saya yakin Indonesia bisa menjadi player global di bidang ini.

Pada prinsipnya kita harus bangga menjadi orang Indonesia, apalagi jika nanti ke depannya hal ini terwujud. Walaupun Indonesia negara terbesar keempat di dunia, kita kadang masih seperti sleeping giant. Jadi semoga ke depannya Indonesia bisa bermain atau lebih bernama di panggung global di antariksa.

Support dari Sang Suami

satria
Perancang Satelit Satria-1, Adipratnia Satwika Asmady. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Di tengah kesibukan mencari proyek baru, Nia masih sempat liburan?

Liburan mungkin terbatas atau kadang apabila sempat pasti akan disempatkan. Tapi di tengah kesibukan pastinya butuh hiburan. Mungkin mencari hiburan yang dekat-dekat saja, ngumpul bareng teman-teman pada saat weekend dan keluarga, itu juga hiburan yang cukup penting di kehidupan saya.

Menyambung rasa penasaran, Nia masih single atau taken?

Baru saja taken, married 2 bulan yang lalu. Jadi sekarang belajar menempuh hidup baru dan responsibility sebagai istri dan insyaallah ke depannya juga sebagai ibu.

Terus bagaimana dukungan suami terhadap pilihan karier Nia?

Sangat suportif. Saya juga bersyukur mendapatkan pasangan yang bisa memberikan saya ruang untuk berprestasi. Karena saya juga tahu mungkin secara budaya tidak, less common lah untuk menghadapi dinamika itu.

Jadi, dia selama 5 tahun ini juga mendengarkan keluh kesah dan suka duka dari perjalanan ini, dan dia selalu ada untuk memberikan support dan selalu mengingatkan bahwa aku bisa dan aku akan sukses dan menjalani segala sesuatu dengan amazing.

Boleh dong support dari Nia untuk Sahabat Liputan6.com untuk bisa berkarya dan menggapai cita-cita?

Kita bisa belajar kapan to get uncomfortable. Kita harus selalu berada di posisi di mana kita tahu kapan kita harus take up more space, push ourselves, dan juga jangan takut untuk bersuara, terutama perempuan di Indonesia mungkin kita growing up, kita lebih diajarkan untuk menjadi sosok yang halus, lembut, nah itu juga tentunya bisa.

Namun di saat-saat tertentu kita harus bisa tegas dan bisa melaksanakan tugas dengan wibawa dan assertiveness yang dibutuhkan.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya