Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan pelonggaran bea keluar (BK) progresif mineral dan batu bara (minerba) olahan masih menjadi sorotan sejumlah kalangan.
Bahkan muncul anggapan pemerintah mulai melunak, dan tunduk pada perusahaan tambang raksasa seperti PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara maupun Vale Indonesia dengan mengendurkan aturan bea keluar yang lebih longgar.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa mengaku kebijakan bea keluar progresif dari 25% hingga 60% merupakan hasil rumusan bersama antara pihak-pihak terkait seperti Kementerian Keuangan serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Nah roadmap dari Kementerian ESDM kan sudah jelas membangun smelter, berapa persen progressnya harus diawasi terus," tutur dia di Jakarta, Selasa (29/4/2014).
Hatta mengaku, pemerintah pada dasarnya tak menginginkan kebijakan pemberlakuan bea keluar yang sangat memberatkan perusahaan tambang.
Namun upaya ini terpaksa dilakukan supaya ekspor minerba Indonesia bernilai tambah dan terbangun proses hilirisasi berkelanjutan.
Hilirisasi minerba dapat terwujud apabila perusahaan tambang membangun pabrik pemurnian (smelter). Dan kebijakan bea keluar dapat memaksa perusahaan tambang untuk menggarap fasilitas smelter di Tanah Air karena itulah tujuan utama dari pengenaan bea keluar minerba olahan. Jadi bukan karena ingin mendulang penerimaan setinggi-tingginya.
"Sebenarnya kita tidak ingin ada bea keluar ini. Tapi yang kami inginkan adalah smelter. Dan keputusan mengenai (bea keluar) dalam dua pekan ini selesai," tandas Hatta.
Advertisement