Rajin Impor Pangan, Masih Pantaskah RI Disebut Negara Agraris?

Indonesia diperkirakan harus mengimpor pangan senilai Rp 1.500 triliun pada 2020.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 16 Okt 2014, 06:35 WIB
Diterbitkan 16 Okt 2014, 06:35 WIB
Sayuran

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia masih mencatatkan defisit pangan karena nilai impor lebih besar dibanding ekspor. Pada semester I-2014, nilai impor pangan negara ini mencapai US$ 2,77 miliar atau sekira Rp 33,24 triliun. Dengan kondisi ini, julukan Indonesia sebagai negara agraris patut dipertanyakan kembali.

Pengamat Pertanian, Khudori sangat menyayangkan kebijakan impor pangan terhadap beberapa komoditas yang justru banyak diproduksi di Indonesia. Secara total, dia menyebut neraca perdagangan pertanian Indonesia masih mencatatkan surplus. Namun paling besar dikontribusi dari sub sektor perkebunan. Sementara sub sektor pangan, peternakan, dan hortikultura mengalami defisit.

Bahkan Direktur Utama PT Rajawali Indonesia (RNI), Ismed Hasan Putro mengatakan, jika produksi pangan nasional tidak mencukupi untuk kebutuhan masyarakat, maka pada 2020 Indonesia diperkirakan harus mengimpor pangan senilai Rp 1.500 triliun.

"Jagung, tebu, produk peternakan, susu, beras mestinya nggak harus impor karena kita mampu produksi sendiri komoditas ini," ucap Khudori saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Kamis (16/10/2014).

Impor, kata Khudori, terpaksa dilakukan pemerintah untuk menutup kekurangan kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri yang tidak mencukupi. Di sisi lain, sambungnya, pemerintah tak mampu membendung tingginya permintaan produk pangan karena dorongan dari peningkatan masyarakat kelas menengah Indonesia.

"Boleh lah impor komoditas yang memang susah produksi di dalam negeri, misalnya gandum, bawang outih karena butuh daerah yang sangat dingin," ujarnya.

Sebenarnya, tambah dia, pemerintah dapat mencari pengganti impor beberapa komoditas dengan produk pangan yang bisa ditanam di dalam negeri. Sebagai contoh, gandum dapat disubstitusi dengan tepung terigu. Dengan begitu akan banyak devisa yang bisa dihemat negara.

"Tapi mana mau melawan raksasa Bogasari atau negara yang menjadi kita sebagai outlet gandum pun nggak akan tinggal diam jika kita melakukan hal tersebut. Jadi tergantung keberpihakan pemerintah," tutur Khudori.  (Fik/Ndw)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya