7 Januari 1852: Lahirnya Dr. Wahidin Soedirohusodo, Dokter Priyayi yang Mencerdaskan Bangsa

Lahir pada 7 Januari 1852 di Desa Mlati, Sleman, Yogyakarta, Dr. Wahidin Soedirohoesodo merupakan salah satu sosok penting yang mendirikan organisasi Budi Oetomo bersama Soetomo pada 20 Mei 1908.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 07 Jan 2025, 12:53 WIB
Diterbitkan 07 Jan 2025, 12:53 WIB
Belajar Sejarah di Museum Kebangkitan Nasional
Diorama suasana belajar sekolah Stovia di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, Rabu (20/5). Dr. Soetomo beserta Dr. Wahidin Soedirohusodo merupakan pendiri Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Yogyakarta - Dr. Wahidin Soedirohusodo adalah pahlawan nasional yang merupakan seorang dokter. Ia adalah tokoh protagonis bagi modernisasi dan perjuangan nasional Indonesia.

Lahir pada 7 Januari 1852 di Desa Mlati, Sleman, Yogyakarta, Dr. Wahidin Soedirohoesodo merupakan salah satu sosok penting yang mendirikan organisasi Budi Oetomo bersama Soetomo pada 20 Mei 1908. Saudara sepupu Radjiman Wedyodiningrat yang terkenal sebagai Ketua BPUPKI 1945 ini sudah dikenal sebagai murid pandai. Ia juga memiliki jiwa sosial dan pendidik.

Mengutip dari Ensiklopedia Sejarah Indonesia, Dr. Wahidin mendapat akses bersekolah di Europeesche Lagere School (SD Belanda) dan Tweede Europeesche Lagere School (sekolah tingkat II) di Yogyakarta. Akses tersebut ia dapatkan berkat rekomendasi dari iparnya, seorang Belanda yang menjabat administratur pabrik gula Wonolopo.

Pada 1869, ia berangkat ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan di School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen/Sekolah Kedokteran Bumiputera (STOVIA). Setelah empat tahun, ia lulus dan diangkat menjadi asisten pengajar di STOVIA. Ia kemudian kembali ke Yogyakarta dan bekerja sebagai dokter.

Selama berprofesi sebagai dokter, Wahidin menaruh empati yang mendalam terhadap penderitaan, ketertindasan, dan keterbelakangan rakyat sebagai akibat nyata dari kolonialisme. Rasa empati itu termanifestasi dalam berbagai hal, termasuk membebaskan biaya bagi pasien yang tidak mampu.

Tak hanya di bidang kesehatan, aksi sosialnya juga meluas hingga ke spektrum pendidikan. Menurut Wahidin, menyebarluaskan pengajaran dan menginternalisasi kesadaran nasional perlu ditempuh untuk meningkatkan harkat bangsa.

Sebagai solusi atas berbagai persoalan di bidang pendidikan, Dr. Wahidin menginisiasi program dana belajar atau studiefonds. Program tersebut bertujuan agar pemuda-pemuda bumiputra yang cerdas (bukan priayi), tetapi tidak mampu, dapat melanjutkan studi hingga ke jenjang pendidikan tinggi.

 

Studiefonds

Gagasan mengenai studiefonds itu dilontarkan melalui majalah yang berada di bawah naungannya, Ratna Dumilah. Majalah berbahasa Jawa ini banyak memuat narasi-narasi yang menitikberatkan pada sikap mawas diri dan gairah untuk mengubah keadaan terjajah.

Setelah pensiun sebagai dokter pemerintah, Dr. Wahidin menebar gagasan untuk memajukan pendidikan dengan berkeliling pulau Jawa sekitar era 1906 hingga 1907. Saat itu, usianya 50 tahun.

Meski hasil kampanyenya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, setidaknya di Jawa Tengah masih terbuka kemungkinan adanya kerjasama di antara pejabat bumiputra dengan membentuk Dana Pelajar. Usaha Dr. Wahidin telah mendapat simpati di kalangan pegawai bumiputra di beberapa kota, di antaranya Banten, Betawi, Bandung, Cirebon, Banyumas, Semarang, Kedu, Yogyakarta, dan Solo.

Sayangnya, usaha tersebut kurang mendapat dukungan di Jawa Timur karena adanya fitnah yang sengaja dilancarkan sebuah surat kabar di Surabaya. Menurut surat kabar tersebut, Dr. Wahidin dianggap terlibat kerusuhan di Gendangan dan Yogyakarta. Akibatnya, ia tidak dapat memasuki beberapa karesidenan di Jawa Timur.

Sekelompok aristokrat lama Jawa juga memberi tanggapan bernada sinis. Mereka masih tertutup pandangannya dan cenderung nyaman dengan status quo, keadaan di mana kepentingan mereka terjamin.

Pada akhir 1907, Dr. Wahidin kembali ke Batavia. Keputusannya ini sama sekali bukan tanda keputusasaan, ia justru sengaja datang menemui para mahasiswa STOVIA dan mengimbau agar para calon dokter bumiputra bekerja mengumpulkan dana untuk membantu anak-anak bumiputra. Hal ini dilakukan agar mereka yang cerdas dapat masuk ke lembaga pendidikan Belanda.

Pemikiran tersebut ternyata banyak disukai kaum intelektual, di antaranya Tirto Adhi Suryo, pelopor lahirnya pers nasional sekaligus pendiri surat kabar Soenda Berita (1903) dan Medan Prijaji (1907). Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat lalu mendirikan Indische Partij (1912), sedangkan Soetomo mendirikan Budi Utomo (1908).

Pada 20 Mei 1908, berkat Dr. Wahidin, Soetomo bersama sejumlah mahasiswa STOVIA mendirikan sebuah perkumpulan BU. Organisasi ini memiliki pimpinan, ideologi yang jelas, dan anggota yang memperluas jangkauan tujuannya ke sektor-sektor sosial, ekonomi, dan kebudayaan.

Selama di BU, wejangan Dr. Wahidin sangat dihargai dan didengar. Bahkan, ia diminta menjadi ketua cabang Yogyakarta. Kemudian, ia menjadi wakil ketua pimpinan pusat Budi Utomo yang dipilih dalam Kongres I. Ia mendampingi R.A.A. Tirtokoesoemo yang dipilih menjadi Ketua.

Dr. Wahidin memiliki jasa besar dalam pendirian BU. Langkah strategis BU kemudian diikuti oleh gerakan Adabiyah di Padang, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad di Jawa. Pada 26 Mei 1917, Dr. Wahidin meninggal dunia di Yogyakarta dan dimakamkan di desa kelahirannya.

 

Penulis: Resla

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya