Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akan meninjau ulang (review) beberapa perjanjian kerja sama perdagangan baik yang bersifat multilateral maupun bilateral dengan negara lain.
Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag), Bachrul Chairi mengatakan, peninjauan ulang tersebut dilakukan karena saat ini Indonesia dianggap bukan negara yang menarik untuk berinvestasi, khususnya bagi produk yang beorientasi pada ekspor.
"Bahwa Indonesia sekarang oleh investor dianggap bukan merupakan tempat yang menarik untuk investasi dalam skala yang besar. Karena Indonesia kurang proaktif dalam rangka membuka pasar ekspor dalam rangka perundingan FTA (free trade agreement) bilateral dan regional," ujarnya di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (17/3/2015).
Menurut dia, para investor ini tidak hanya mempertimbangkan pasar Indonesia di dalam negari yang terhitung besar, tetapi juga potensi melakukan ekspor jika berproduksi di Indonesia.
"Dengan demikian kenyataanya perusahaan besar tidak mau invest di Indonesia, tidak hanya melihat 250 juta, tapi bagaimana engagement dia produksi di Indonesia kalau untuk di ekspor," lanjutnya.
Untuk menindaklanjuti hal ini, Kemendag diminta untuk melakukan pemetaan kembali terhadap kerjasama Indonesia dengan negara lain.
"Menko minta memetakan kembali dalam setiap perundingan. Ini akan kita lihat misalnya dalam ASEAN, kemudian yang bilteral dengan Jepang, Korea, Australia, Chili, dengan CEPA, dengan India. Kemendag diminta dalam 2 bulan dapat menyelesaikan hal-hal dalam perundingan yang belum menguntungkan Indonesia," jelasnya.
Dia mencontohkan, Indonesia sebagai produksi tuna terbesar, tetapi bea masuk tuna asal Indonesia di Eropa dikenakan 22,5 persen. Sedangkan negara Malaysia, Filipina dan Vietnam yang sebagian tunanya datang dari perairan Indonesia malah mendapatkan pembebasan bea masuk.
"Akibatnya perbedaan itu kita bersaing, alasannya mereka sudah melakukan FTA dengan Uni Eropa, Indonesia ketinggalan. Begitu juga di Jepang, Indonesia harus bayar 7,5 persen. Nah kami melihat apa yang di-review dan dibuka dengan negara mana supaya kita tidak ketinggalan kereta," kata dia.
Bachrul menjelaskan, masalah ini disebabkan oleh persoalan transposisi. Transposisi sendiri merupakan kegiatan setiap 5 tahunan dilaksanakan oleh seluruh negara di dunia dalam mengharmonisasikan tarif. Dan Indonesia punya permasalahan di transposisi itu, sehingga negara partner dagang menganggap Indonesia tidak melakukan transposisi sesuai dengan komitmennya.
"Oleh sebab itu kita diboikot di sana tidak dapat memanfaatkan oleh sebab itu kita dituntut menyelesaikan Tapi Pak Menko Perekonomian menegaskan bahwa Indonesia terbuka dalam perdagangan internal, akibat ini Indonesia kehilangan pasar dan kehilagan investasinya," tandas dia. (Dny/Gdn)
Pemerintah Tinjau Ulang Perjanjian Kerja Sama dengan Negara Lain
Indonesia sebagai produksi tuna terbesar, tetapi bea masuk tuna asal Indonesia di Eropa dikenakan 22,5 persen.
diperbarui 17 Mar 2015, 21:45 WIBDiterbitkan 17 Mar 2015, 21:45 WIB
Advertisement
POPULER
1 2 3 Energi & TambangShell Dikabarkan Tutup Seluruh SPBU di Indonesia, Kenapa?
4 5 6 7 8 9 10
Berita Terbaru
Melihat Koleksi di Pasar Klitikan Notoharjo Solo
Skor Kacamata Warnai Hasil Pertandingan AC Milan Melawan Juventus
Gelar Fan-Con di Jakarta, Choi Jin Hyuk Makan Keripik Tempe hingga Durian
Sudah Dikontak Ruben Amorim, Ini Bintang Sporting CP yang Bisa Segera Diangkut Manchester United
VIDEO: Negara G20 Sepakat Akan Pajaki Orang-orang Super Kaya
Puluhan Ulama hingga Habaib Imbau Polresta Malang Kota Jaga Netralitas di Pilkada 2024
Bertemu MBZ, Prabowo Apresiasi Inisiatif Pelibatan Indonesia untuk Misi Kemanusiaan Gaza
Intip, Jadwal Masa Tenang Pilkada 2024 dan Aturannya
Top 3 Islami: Waktu Terbaik Sholat Taubat dan Doa Setelahnya, Cara Unik Gus Maksum Sembuhkan Pemabuk
Ini Alasan Investasi Properti di Tangerang Masih Menjanjikan
Ragam Acara Menarik di GJAW 2024 Buat Para Pecinta Otomotif
Miliarder Stanley Druckenmiller Jual Saham Nvidia, Alihkan Investasi ke Broadcom