Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah kalangan meragukan pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) andalan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat terealisasi sampai lima tahun mendatang. Walaupun proyek ini dibangun, daerah-daerah di Indonesia tetap akan merasakan pemadaman listrik bergilir, terutama di wilayah luar Pulau Jawa.
Wakil Ketua Pelaksana Program Pembangkit Listrik 35 ribu MW, Agung Wicaksono mengatakan, kemajuan pembangunan proyek pembangkit listrik sudah mencapai 1.500Â MW dalam kurun waktu delapan bulan. Sementara penandatanganan kontrak PLN dan IPP untuk 6.000Â MW.
"Tapi pemadaman listrik bergilir bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan satu tandatangan kontrak saja. Ini harus pelan-pelan, tidak bisa langsung nyala. Kecuali pakai pembangkit listrik sewa dengan harga mahal," ujar dia saat Diskusi Energi Kita, Jakarta, Minggu (4/10/2015).
Advertisement
Agung menjelaskan, untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan 6 persen-8 persen sampai 2019, kebutuhan listrik yang diperlukan tumbuh 8,7 persen. Sedangkan penambahan di Sumatera saja membutuhkan 9,2 persen.
"Setidaknya kita sudah berusaha membangun karena sejak 1997, tak ada penambahan pembangkit listrik yang dibangun selama 10 tahun. Kita mengejar ketertinggalan. Tapi apakah seluruh pulau bisa terlistriki dengan 35 ribu MW, tentu belum. Karena rasio elektrifikasi baru 100 persen kalau pulau kecil teraliri listrik, sedangkan PLN tidak banyak menyentuh itu," terang dia.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Rinaldy Dalimi menegaskan bahwa pemadaman listrik akan selalu ada, khususnya di luar Pulau Jawa. Alasannya bukan karena kurangnya pembangunan pembangkit listrik, melainkan kesulitan mendistribusikan listrik.
"Misalnya di Kalimantan, terkenal dengan lumbung energi tapi tetap saja padam. Jadi yang penting kita berusaha membangun dulu, dan pemerintah harus memfasilitasi pembebasan lahan, kemudahan izin investasi, memperbaiki tender atau penunjukkan kontraktor, dan sebagainya," ucapnya.
Sementara Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi meminta agar PLN dapat menjelaskan secara gamblang mengenai kondisi kelistrikan Indonesia sekarang ini.
"Sejak lima tahun terakhir, pelayanan listrik di PLN memang endut-endutan, contohnya saja di Sumatera, Kalimantan karena kekurangan daya, meski belum masuk pada level krisis," cetusnya.
PLN, kata dia, hanya sanggup memenuhi permintaan listrik rumah tangga, bukan industri. Akibat daya yang semakin minim, sambung Tulus, menimbulkan penyalaan listrik bergilir. Paling parah di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau.
"Kalau Jokowi mencanangkan pertumbuhan ekonomi 7-8 persen, jangan mimpi jika listrik tidak terpenhuhi. Membangun listrik 35 ribu MW adalah suatu kebutuhan dan tanggung jawab negara untuk menyediakan listrik berkualitas dengan harga terjangkau," pungkas Tulus. (Fik/Ndw)
Sejumlah kalangan meragukan pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) andalan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat terealisasi sampai lima tahun mendatang. Walaupun proyek ini dibangun, daerah-daerah di Indonesia tetap akan merasakan pemadaman listrik bergilir, terutama di wilayah luar Pulau Jawa.
Wakil Ketua Pelaksana Program Pembangkit Listrik 35 ribu MW, Agung Wicaksono mengatakan, kemajuan pembangunan proyek pembangkit listrik sudah mencapai 1.500Â MW dalam kurun waktu delapan bulan. Sementara penandatanganan kontrak PLN dan IPP untuk 6.000Â MW.
"Tapi pemadaman listrik bergilir bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan satu tandatangan kontrak saja. Ini harus pelan-pelan, tidak bisa langsung nyala. Kecuali pakai pembangkit listrik sewa dengan harga mahal," ujar dia saat Diskusi Energi Kita, Jakarta, Minggu (4/10/2015).
Agung menjelaskan, untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan 6 persen-8 persen sampai 2019, kebutuhan listrik yang diperlukan tumbuh 8,7 persen. Sedangkan penambahan di Sumatera saja membutuhkan 9,2 persen.
"Setidaknya kita sudah berusaha membangun karena sejak 1997, tak ada penambahan pembangkit listrik yang dibangun selama 10 tahun. Kita mengejar ketertinggalan. Tapi apakah seluruh pulau bisa terlistriki dengan 35 ribu MW, tentu belum. Karena rasio elektrifikasi baru 100 persen kalau pulau kecil teraliri listrik, sedangkan PLN tidak banyak menyentuh itu," terang dia.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Rinaldy Dalimi menegaskan bahwa pemadaman listrik akan selalu ada, khususnya di luar Pulau Jawa. Alasannya bukan karena kurangnya pembangunan pembangkit listrik, melainkan kesulitan mendistribusikan listrik.
"Misalnya di Kalimantan, terkenal dengan lumbung energi tapi tetap saja padam. Jadi yang penting kita berusaha membangun dulu, dan pemerintah harus memfasilitasi pembebasan lahan, kemudahan izin investasi, memperbaiki tender atau penunjukkan kontraktor, dan sebagainya," ucapnya.
Sementara Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi meminta agar PLN dapat menjelaskan secara gamblang mengenai kondisi kelistrikan Indonesia sekarang ini.
"Sejak lima tahun terakhir, pelayanan listrik di PLN memang endut-endutan, contohnya saja di Sumatera, Kalimantan karena kekurangan daya, meski belum masuk pada level krisis," cetusnya.
PLN, kata dia, hanya sanggup memenuhi permintaan listrik rumah tangga, bukan industri. Akibat daya yang semakin minim, sambung Tulus, menimbulkan penyalaan listrik bergilir. Paling parah di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau.
"Kalau Jokowi mencanangkan pertumbuhan ekonomi 7-8 persen, jangan mimpi jika listrik tidak terpenhuhi. Membangun listrik 35 ribu MW adalah suatu kebutuhan dan tanggung jawab negara untuk menyediakan listrik berkualitas dengan harga terjangkau," pungkas Tulus.