Video Ekonomi China yang Dulu Berjaya Kini Goyah

Banyak pihak heran kenapa China, negara dengan ekonomi yang dahsyat itu bisa goyah seperti sekarang.

oleh Zulfi Suhendra diperbarui 22 Okt 2015, 19:01 WIB
Diterbitkan 22 Okt 2015, 19:01 WIB
Ekonomi China
(Foto: Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - China, salah satu negara paling diperhitungkan di dunia kini tengah dalam masa yang sulit. Banyak pihak heran kenapa China, negara dengan ekonomi yang dahsyat itu bisa goyah seperti sekarang.

Cerita bermula dari 1979. Kala itu kondisi China tidak seperti saat ini. Belum banyak gedung-gedung pencakar langit, kendaraan, pabrik-pabrik. Orang China lebih suka bersepeda dibanding naik kendaraan. Income per kapita negara ini juga baru ratusan ribu dolar per tahun.

"Bahkan kelaparan pun mungkin masih terjadi di sana," tutur Tyler Cowen, ekonom dan penulis Modern Principles Microeconomics, dalam video yang diunggahnya di internet, ditulis Kamis (22/10/2015).

Sejak saat itu, pemerintah China mulai mempercepat pembangunan. Segala sektor pembangunan digenjot, pabrik, infrastruktur, investasi terus dikembangkan, dan membuat China menjadi negara dengan ekonomi modern yang besar.

Cowen mengatakan, hingga dalam 35 tahun terakhir sejak itu, China terus tumbuh 10 persen per tahun. Sebuah negara menurutnya, sulit untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar itu. Tapi China bisa.

"Negara di Amerika sana, hanya tumbuh tak lebih dari dua persen per tahun." tuturnya.

Pertumbuhan yang naik 10 persen, lanjut Cowen, menjadikan penduduk di Cina mengalami perubahan standar hidup yang sangat cepat, setidaknya dalam 7 tahun sekali. Tak heran, suasana, kondisi perkotaan, kehidupan di China bisa sangat cepat berubah ke arah yang lebih maju dalam kurun waktu tertentu.

"Hari demi hari waktu demi waktu kota-kota di China akan cepat berubah," katanya.

Itu semua berkat pemerintah China yang terus mendorong pelaku usahanya untuk terus berinvestasi khususnya di bidang infrastruktur. China, setiap tahunnya, menggelontorkan separuh dari GDP negara tersebut untuk investasi, yang menurut Cowen sangat sulit bagi sebuah negara untuk mengalokasikan sebanyak itu.

Karena dalam masa-masa awal pertumbuhan, China membutuhkan banyak sekali proyek infrastruktur seperti transportasi, jalan, perumahan, gedung, dan lainnya.

"Pemerintah China sangat baik dalam menyediakan ini. Dan tak heran pertumbuhan negara ini sangat kuat," tambahnya.

Saking cepatnya, China sudah memiliki semua hal itu. Sedangkan dana menunggu untuk terus diinvestasikan. Cowen mengatakan negara tersebut membutuhkan lebih banyak layanan kesehatan, layanan ritel hingga stratuos yang baru. Pada intinya, China butuh investasi yang lebih kompleks.

Titik balik dari ekonomi China terjadi di tahun 2009. kala itu banyak negara yang dikhawatirkan akan mengalami resesi, termasuk China yang diprediksikan bakal mengalami resesi yang sangat besar. Tapi pemerintah China berupaya keras untuk menghalaunya, caranya adalah dengan terus berinvestasi dan membangun banyak infrastruktur lagi.

Dana yang digunakan untuk mengakselerasipembangunan infrastruktur itu berasal dari utang, dan pemeirntah mendorong perusahaan untuk mengambiul banyak pijaman dan utang yang lebih banyak.

"Kita tak ada ukuran yang pasti, tapi total utang China seluruhnya sekitar 200 persen dari GDP, bahkan 300 persen dari GDP. Utang itu bisa dikendalikan jika pertumbuhan ekonomi masih 10 persen, tapi jika pertumbuhan ekonomi justru anjlok, akan sangat sulit kondisi ini," paparnya.

China dinilai terlalu cepat melakukan pembangunan, sehingga ada kecenderungan pasar jenuh. Dunia usaha di sana menurut Cowen terlalu percaya diri berlebihan karena sudah terbiasa dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Cowen menilai ada 5 persoalan penting yang kini dihadapi China, yang mebuat negara ini mengalami perlambatan ekonomi. Pertama adalah properti bubble. Seperti yang disebutkan sebelumnya, China terlalu cepat melakukan pembangunan, termasuk properti.

Pasokan hunian di China terus ditambah tanpa melihat adanya permintaan. Tak heran, banyak proyek-proyek properti di China yang dibangun namun tak dihuni dan berujung seperti kota hantu.

Kedua menurut Cowen adalah bubble pasar saham. Seperti namanya, bubble, yang berarti gelembung yang sewaktu-waktu bisa meledak. Masalah lainnya adalah kelebihan utang, kelebihan kapasitas bisnis, dan yang terakhir adalah potensi dana yang keluar dari China, atau yang disebut juga capital flight.

Investor, lanjut Cowen, baik dalam atau luar negeri khawatir dengan kondisi perekonomian China, hingga mereka sewaktu-waktu memutuskan untuk menarik dana dan mengeluarkannya dari China.

"China harus tetap optimistis dalam kondisi ini, karena mereka punya sumber daya manusia yang sangat baik," tutup Owen. (Zul/Igw)

 
 

Tag Terkait

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya