Neraca Perdagangan Bukan Indikator Baik Buruknya Ekonomi RI

AS selama ini mengalami defisit neraca perdagangan, namun hingga saat ini masih menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbesar dunia

oleh Septian Deny diperbarui 17 Nov 2015, 14:16 WIB
Diterbitkan 17 Nov 2015, 14:16 WIB
20151110-Ekspor-Impor-Jakarta-FF
Sejumlah kapal menurunkan peti kemas diTanjung Priok, Jakarta (10/11). Badan Pusat Statistik menyebutkan kinerja ekspor Indonesia pada kuartal III 2015 minus 0,69 persen dan impor minus 6,11 persen dibanding tahun lalu. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan neraca perdagangan Indonesia pada Oktober mengalami suplus sebesar US$ 1,01 miliar. Secara kumulatif, neraca perdagangan sepanjang Januari-Oktober menembus angka US$ 8,16 miliar.

Meski demikian, Direktur Kerja Sama Multirateral Kementerian Perdagangan (Kemendag) Djatmiko Bris Witjaksono mengatakan, persoalan neraca perdagangan suplus atau defisit sebenarnya bukan menjadi indikator bahwa perdagangan Indonesia dalam kondisi baik atau buruk.

"Ada beberapa pihak yang berpandangan kalau necara perdagangan yang bagus itu suplus. Karena sesuatu negara itu kan dinamis dipengaruhi berbagai macam faktor, seperti kerja sama," ujarnya di Kantor Kemendag, Jakarta, Selasa (17/11/2015).

Dia mencontohkan, Amerika Serikat (AS) selama ini juga mengalami defisit neraca perdagangan, namun negeri Paman Sam tersebut hingga saat ini masih menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia dan mampu memberikan pengaruh terhadap ekonomi global.

"AS saja defisit mulu. Ini bukan masalah defisit. Kita kan tidak bisa memberhentikan konsumsi. Kalau kita defisit, mungkin berimplikasi pada neraca pembayaran, tapi sejuh ini masih manageable. Jepang juga hampir defisit, sekarang mulai surplus lagi," lanjut dia.

Menurut Djatmiko, tidak mungkin Indonesia mengalami surplus pada semua sektor perdagangan. Yang penting saat ini yaitu mendorong produk-produk unggulan dalam negeri agar bisa meningkatkan ekspornya.

"Ya baik-baik saja. Karena itu fenomena sebagai kekuatan ekonomi. Kita tidak mungkin dorong bersama-sama (semua sektor), harus kita lihat mana yang bisa didorong. Misalnya kita jadi hub otomotif production base. Kemudian kita fokus ke pariwisata," tandasnya. (Dny/Zul)

 
 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya