Gelar Mogok Nasional, Ini Daftar Tuntutan Buruh

Semua paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah berpihak kepada dunia bisnis yang juga memproteksi pemilik modal.

oleh Septian Deny diperbarui 24 Nov 2015, 14:43 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2015, 14:43 WIB
Demo buruh
Para buruh saat melintasi jalan di Kawasan Industri Pulogadung menuju Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Jumat (20/11/2015). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah serikat pekerja yang yang tergabung dalam Komite Aksi Upah-Gerakan Buruh Indonesia (KAU-GBI) menggelar aksi mogok nasional pada 24-27 November 2015.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan, aksi mogok nasional sebagai puncak dari tuntutan buruh kepada pemerintah agar mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan penolakan terhadap formula baru pengupahan.

"Cabut PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Tolak formula baru kenaikan upah minimum yang berdasarkan inflasi dan PDB," ujarnya di Jakarta, Selasa (24/11/2015).

Buruh juga menuntut pemerintah daerah (Pemda) menaikan upah minimum provinsi (UMP) 2016 sebesar Rp 500 ribu dari UMP tahun ini. "Naikan upah minimum 2016 berkisar Rp 500 ribuan dan berlakukan upah min sektoral lebih besar 10 persen dari upah minimum," lanjut dia.

Menurut Said, pihaknya punya alasan kuat terkait tuntutan-tuntutan tersebut. Pertama, PP Pengupahan dinilai melanggar konstitusi UUD 1945 tentang di mana setiap orang berhak mendapatkan hidup layak melalui penetapan instrumen kebutuhan hidup layak (KHL).

"Dengan PP tersebut, KHL tidak lagi dipakai karena hanya menggunakan inflasi dan PDB (flat) dan melanggar UU Nomor 13 Tahun 2003 pasal 88 yang menyatakan kenaikan upah minimum ditetapkan oleh gubernur dengan rekomendasi dari Dewan Pengupahan, maka dengan PP ini gubernur tidak lagi memiliki peran karena penetapan inflasi dan PDB oleh BPS," kata dia.


Selain itu, lanjut dia, Dewan Pengupahan juga tidak lagi mempunyai peran karena KHL tidak melakukan survei. "Padahal KHL sudah dipakai dari 1982 dengan nama KFM. Bahkan sejak orde baru, malah melibatkan serikat pekerja dalam penetapan upah minimum tersebut," ungkapnya.

Kedua, keberadaan PP tersebut dinilai menghilangkan hak berunding serikat buruh sehingga melanggar konvensi ILO nomor 87 dan nomor 98 tentang hak berunding serta melanggar UU nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja yang mewakili buruh untuk hak berunding termasuk berunding upah minimum.

"Pemerintah menyatakan serikat pekerja tetap bisa berunding melalui perundingan struktur dan skala upah. Pernyataan Menteri Ketenagakerjaan ini adalah upaya pembodohan karena selama 33 tahun pengusaha tidak pernah mau menerapkan struktur skala upah karena tidak ada sanksi. Hal ini terbukti dari data perusahaan yang mempunyai struktur skala upah hanya 0,05 persen. Dengan kata lain 99,5 persen dari total perusahaan yang ada di Indonesia tidak akan pernah mau membuat skala upah," jelasnya.

Ketiga, di Indonesia upah minimum merupakan upah standar. Hal ini terbukti dengan data buruh yang menerima upah diatas diatas Rp 2 juta hanya berjumlah 15 juta orang. Sedangkan pekerja yang menerima gaji di bawah Rp 2 juta berjumlah 42 juta orang.

"Jadi tentang struktur skala upah hanyalah retorika dan janji surga saja di mana bukti lainnya buruh yang masa kerjanya mencapai 5 tahun-15 tahun pun dibayar upah minimum termasuk buruh yang sudah punya anak," kata dia.

Keempat, menurut Said, jika pemerintah ingin menggunakan PP Pengupahan sebagai payung hukum penetapan UMP, maka 'base on' UMP yang berlaku sekarang harus dinaikan menjadi upah layak. Hal ini karena UMP di Indonesia paling rendah dibandingkan dengan upah minimum Filipina Rp 4,5 juta, Thailand Rp 3,6 juta, Malaysia Rp 3,2 juta-Rp3,4 juta. Sedangkan UMP 2015 Jakarta sebesar Rp 2,7 juta.

"Maka kalau mau pakai formula baru naikan dulu komponen KHL 84 item sehingga ketemu upah minimum 2016 Rp 3,6 juta-Rp 3,7 juta atau setara dengan Thailand. Nah, tahun-tahun selanjutnya baru pakai inflasi dan PDB," ungkapnya.

Dan alasan kelima, Said menilai semua paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah berpihak kepada dunia bisnis yang juga memproteksi pemilik modal. Maka buruh berharap persoalan UMP tidak lagi menguntungkan pengusaha saja tetapi juga para pekerjam

"Kita setuju-setuju saja (dengan paket kebijakan), tapi yang kita tidak setuju adalah tidak ada satupun kebijakan tersebut yang pro terhadap buruh, bahkan melukai buruh dengan formula baru kenaikan upah murah yang tertuang dalam PP," tandasnya. (Dny/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya