Pemerintah Diminta Tegas Soal Penggunaan Rupiah dalam Transaksi

Selama ini kewajiban menggunakan rupiah dalam setiap transaksi di dalam negeri baru berupa himbauan.

oleh Septian Deny diperbarui 08 Des 2015, 18:12 WIB
Diterbitkan 08 Des 2015, 18:12 WIB
20150915-Bongkar Muat di JICT-Jakarta
Suasana bongkar muat di Jakarta International Contener Terminal (JICT),Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (15/9/2015). Nilai ekspor Indonesia Agustus 2015 mencapai US$12,70 M atau meningkat 10,79 persen dibanding ekspor Juli 2015. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) meminta pemerintah untuk membereskan oknum mafia di sektor keuangan. Hal ini dianggap penting menekan ongkos logistik di Indonesia jelang berlangsungnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Sekretaris Jenderal ALFI, Akbar Djohan mengatakan, contoh yang paling mudah untuk membereskan oknum mafia ini yaitu pemerintah harus secara tegas mengatur penggunaan rupiah dalam setiap transaksi di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Akbar menilai, selama ini kewajiban menggunakan rupiah dalam setiap transaksi di dalam negeri baru berupa himbauan dan tidak ada sanksi tegas jika ada perusahaan yang melanggarnya.

"Contoh, bagaimana ragu-ragunya pemerintah menerapkan sanksi pidana untuk yang melakukan transaksi dalam bentuk rupiah dalam segal aspek di dalam negeri. Ini tidak diterapkan, ini hanya dihimbau," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (8/12/2015).


Dia mengatakan, jika sudah ada sanksi tegas mengenai penggunaan mata uang rupiah ini, maka pemerintah akan dengan mudah menemukan keberadaan mafia di sektor keuangan tersebut.

"Kalau misalnya law enforcement-nya sudah dilaksanakan, akan terkuak mafia perbankannya di mana. Dan ujungnya adalah harus dibereskan di Bank Indonesia (BI) itu sendiri," kata dia.

Dengan membereskan mafia yang disinyalir menjadi penghambat kebijakan kewajiban penggunaan rupiah ini, maka ke depannya diharapkan biaya logistik di Indonesia bisa ditekan semaksimal mungkin.

"Ini permintaan kami sebagai pelaku karena menimbulkan biaya high cost logistik tinggi. Dan tidak ada penurunan karena exchange rate pada mata uang asing dikuasai," tandasnya.

Sebelumnya, ALFI juga menyebut bahwa mahalnya biaya logistik di Indonesia karena banyaknya perizinan untuk mengurus bongkar muat kapal (dwelling time) barang ekspor impor. "Biaya logistik kita sangat tinggi, bahkan yang termahal di dunia," tegas Ketua Umum Wilayah ALFI, Widijanto.

Dia menjelaskan, biaya logistik pelabuhan Indonesia sudah mencapai 27 persen. Sementara di negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia maupun India atau negara lain berada di angka 15 persen dan di bawah itu.  

Penyebabnya, Widijanto menilai, karena banyaknya kepentingan instansi untuk mengeluarkan kebijakan masing-masing. Perizinan menjadi biang keladi dari tingginya biaya logistik di pelabuhan sehingga Indonesia sulit bersaing dengan negara tetangga. Sebagai contoh PT Pelindo menetapkan segala macam tarif sehingga biaya barang impor di pelabuhan semakin bengkak.

"Misalnya satu barang impor yang masuk larangan terbatas. Dibutuhkan pengurusan perizinan sampai satu bulan. Padahal kalau bisa langsung keluar, biaya bisa dipangkas, paling penumpukan biaya cuma satu hari. Tapi dengan izin yang banyak itu, biaya membengkak terus," tegas dia. (Dny/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya