Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perumahan rakyat dan Pekerjaan Umum (PUPR) diminta untuk menolak tegas rencana Kementerian Keuangan untuk melebur dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) ke dalam Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Penggabungan tersebut dikhawatirkan akan menganggu mekanisme penyaluran kredit subsidi untuk rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang selama ini sudah berjalan.
Isu penggabungan dana FLPP ke Tapera diketahui dari menyebarnya surat Menteri Keuangan No S-304/MK/05/2016 tertanggal 26 April 2016 yang ditujukan kepada Menteri PUPR mengenai penggabungan Program FLPP ke dalam Program Tapera.
Dalam surat yang ditandatangani Menteri Keuangan Bambang P.S Brodjonegoro itu disebutkan alasan penggabungan merujuk pada Pasal 61 ayat (1) huruf F UU Tapera yang mengatakan dana Tapera bisa bersumber dari dana lainnya yang sah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menkeu menafsirkan FLPP termasuk dalam sumber dana lainnya tersebut.
Namun menurut Ketua The Housing and Urban Development (HUD) Institute Zulfi Syarif Koto penafsiran itu tidak tepat dan keliru. Dia meminta Menteri PUPR menolak surat Menkeu tersebut karena akan merugikan kepentingan masyarakat luas yang selama ini mengandalkan FLPP sebagai sumber pembiayaan perumahan.
Baca Juga
"Surat Menkeu itu harus diluruskan dan ditolak. Jelas sekali bahwa Tapera adalah dana amanat masyarakat, sedangkan FLPP itu bersumber dari APBN. Jadi ini dua bentuk yang berbeda, sehingga keliru kalau dipaksakan bergabung," kata Zulfi kepada Liputan6.com, Rabu (11/5/2016).
Tanggungjawab untuk merumahkan masyarakat berpenghasilan rendah adalah kewajiban negara, yang salah satunya selama ini dilakukan dengan menyalurkan FLPP sehingga MBR bisa memiliki rumah dengan bunga rendah dan tenor panjang. Kewajiban pemerintah itu termaktub dalam Pasal 54 UU No 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP).
Kalau benar dana FLPP akan dilebur ke Tapera, Zulfi memastikan langkah ini akan sangat berpengaruh terhadap kinerja Program Sejuta Rumah yang dicanangkan Pemerintah Jokowi-JK. Perbankan akan menahan diri (wait and see), sehingga banyak rumah yang sudah dibangun terancam gagal akad kredit. Apalagi hingga kini Tapera belum dapat dipastikan kapan bisa berjalan optimal, bahkan perangkat kerjanya pun belum terbentuk.
Saat ini praktis hanya FLPP yang dapat diandalkan untuk mendorong Program Sejuta Rumah. Karena pada Tahun Anggaran 2016 ini, dana stimulan PSU untuk perumahan MBR sangat terbatas, demikian juga dengan dana dekonsentrasi untuk 34 provinsi se-Indonesia juga masing-masing dipotong sebesar 10 persen.
"Ini tentu banyak berpengaruh terhadap realisasi rumah rakyat pada tahun ini," tegas Zulfi.
Dia menilai Kementerian Keuangan terkesan "panik" untuk mencari sumber pendanaan dari APBN untuk Tapera, sehingga dana FLPP pun mencari sasaran. HUD Institute berpendapat, kalau merujuk pada UU No 4 tahun 2016 tentang Tapera, dalam dua tahun ke depan yang akan digabungkan dalam Tapera hanya dana Bapertarum PNS. Sedangkan FLPP tidak secara eksplisit disebutkan.
Oleh karena itu, HUD Institute bersama komponen masyarakat perumahan lainnya akan menunggu dan mencermati sikap Kementerian PUPR cq Ditjend Pembiayaan Perumahan untuk menjawab surat Kementerian Keuangan tersebut. Dia meminta Kementerian PUPR agar duduk bersama seluruh stakeholders perumahan rakyat untuk menyikapi surat tersebut.
(Muhammad Rinaldi/Gdn)