Ini Dalih Petani Tak Ingin Harga Rokok Naik Jadi Rp 50 Ribu

Petani menentang secara tegas usulan kenaikan harga melalui skema kenaikan tarif cukai ini yang dinilai hanya untuk menekan angka perokok.

oleh Septian Deny diperbarui 22 Agu 2016, 16:04 WIB
Diterbitkan 22 Agu 2016, 16:04 WIB
20160119-Buruh-Tembakau-AFP
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau di pabrik rokok di Jember (13/2/2012). (AFP / ARIMAC WILANDER)

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menolak usulan kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus. Kenaikan harga ini dinilai bukan hanya akan mematikan industri rokok, tetapi juga para petani tembakau.

Ketua Umum APTI Soeseno ‎mengatakan, pihaknya menentang secara tegas usulan kenaikan harga melalui skema kenaikan tarif cukai ini yang dinilai hanya untuk menekan angka perokok aktif di Indonesia.

Menurut dia, kenaikan cukai yang terlalu tinggi akan menurunkan volume produksi rokok. Hal ini menyebabkan mata pencaharian sekitar 6 juta orang yang terlibat dalam industri hasil tembakau (IHT) terganggu.

"Kenaikan cukai sebesar 11,5 persen pada tahun ini telah menyebabkan volume IHT menurun sebesar 4,8 persen pada semester 1 tahun 2016," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (22/8/2016).

Wacana kenaikan harga ini juga dikhawatirkan akan menyebabkan perdagangan rokok ilegal merajalela. Hasil studi Universitas Gadjah Mada dan Direktorat Bea dan Cukai pada 2014 mencatat perdagangan rokok ilegal mencapai 11,7 persen dan merugikan negara hingga Rp 9 triliun.

"Kenaikan cukai eksesif akan dibarengi dengan menurunnya kemampuan daya beli masyarakat, maka konsumen akan menyiasati dengan mencari rokok yang lebih murah dan atau malah melinting sendiri. Sudah barang tentu target pendapatan cukai tidak mencapai target, diperburuk lagi kenaikan cukai yang berlebihan akan menyuburkan pertumbuhan rokok ilegal," jelas dia.

Kenaikan harga yang tinggi, tutur Soeseno, juga akan berakibat pada penurunan daya serap bahan baku tembakau dan cengkeh. Permintaan tembakau oleh pabrik pada masa panen tahun ini juga turun 15 persen dibanding tahun lalu.

Padahal, kata dia, tembakau adalah komoditas perkebunan yang menguntungkan ketimbang tanaman lainnya. Berdasarkan studi Universitas Airlangga pada 2013, rata-rata pendapatan yang diterima oleh petani tembakau per 1 hektare lahan adalah sebesar Rp 20 juta.

Angka ini lebih tinggi ketimbang petani padi, jagung, dan bawang merah, yang rata-rata mendapatkan Rp 8 juta, Rp 3 juta, dan Rp 2,3 juta.

Selain itu, dalam lima tahun sekitar 1.200 pabrik rokok  tutup dan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mencapai 102.500 pekerja. Penutupan pabrik dan PHK pekerja berdampak negatif.

“Jika rokok ilegal makin merajalela, maka semua pihak akan dirugikan, yaitu pabrikan rokok legal, para pekerjanya, serta para petani tembakau dan cengkeh. Pemerintah juga akan dirugikan karena rokok ilegal tidak membayar cukai," ungkap dia.

Soeseno mengatakan, pada 2015, IHT tercatat membayarkan cukai, pajak daerah, dan PPN produk tembakau sebesar Rp 173,9 triliun. Angka ini setara 16,5 persen dari total penerimaan pajak.

"Kami meminta pemerintah membuat kebijakan cukai yang rasional, berimbang, serta mempertimbangkan seluruh aspek, termasuk kesehatan serta kelangsungan bisnis IHT di Indonesia," tandas dia. (Dny/Nrm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya