Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah buka pilihan impor gas untuk menurunkan harga. Hal ini merupakan bagian dari sistem zonasi tata kelola gas yang konsepnya sedang dimatangkan.
‎Salah satu penyebab mahalnya harga gas adalah biaya transportasi, meski gas masih dari dalam negeri.
Akan tetapi karena jarak sumber gas dan konsumen berjauhan membuat biaya transportasi menjadi mahal. Contoh seperti Aceh yang gasnya berasal dari kilang Regasifikasi gas alam cair (Liqufied Natural Gas/LNG) Tangguh Papua.
"Seperti Indonesia Barat di Aceh harus bawa LNG gas ke sana cost itu‎," kata Pelaksana tugas Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan, di Jakarta, Rabu (12/10/2016).
Advertisement
Baca Juga
Luhut mengatakan, salah satu wilayah yang pasokan gasnya berasal dari impor adalah Aceh dan wilayah Sumatera lainnya. Gas tersebut akan didatangkan dari negara yang letaknya berdekatan dengan Sumatera, yaitu Malaysia dan Brunei Darussalam.
Luhut memprediksi, jika impor gas dari Malaysia dan Brunei, harganya jauh lebih murah karena letaknya yang dekat dapat menekan biaya transportasi gas, dan distribusi gas bisa disambung dengan pipa.
"Kenapa tidak kita pikirkan saja impor dari Brunei yang lebih murah misalnya US$ 3,5 sampai US$ 4. Gas di situ baru dipipakan di Medan. Itu kita hitung-hitung bisa US$ 7- US$ 8 dari US$ 13. Akan tetapi itu masih bisa ditekan lagi ke US$ 6," jelas Luhut.
Konsep impor gas ini merupakan bagian dari sistem zonasi tata niaga gas, dari hulu sumber gas hingga hilir ke konsumen. Dengan begitu sumber gas hanya digunakan untuk konsumen di zonanya.
"Harga gas yang kita buat itu zonasi. Jadi di Indonesia Timur gasnya kita kasih untuk Indonesia Timur. Gas yang di Indonesia Tengah, kita fokus ke Indonesia Tengah," tutur Luhut. (Pew/Ahm)