Liputan6.com, Jakarta - Keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menurunkan harga gas sebaiknya tidak hanya mengakomodir konsumen saja, tetapi juga mendengarkan produsen gas. Karena, faktor yang membuat industri Indonesia kalah bersaing bukan hanya harga gas.
Diretur Eksekutif Refomainer Energi Komaidi Notonegoro mengatakan, instruksi Jokowi menurunkan harga gas untuk industri hingga kisaran US$ 5 per MMBTU-US$ 6 per MMBTU pada dasarnya merupakan kelanjutan dari kebijakan atau program sebelumnya, yaitu paket kebijakan ekonomi jilid III, untuk meningkatkan daya saing industri nasional.
"Dalam tataran regulasi, telah diterbitkan regulasi untuk hal ini yaitu Perpres No.40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dan Permen ESDM Nomor 16/2016 tentang Tata Cara Penetapan Harga dan Pengguna Gas Bumi Tertentu," kata komaidi, di Jakarta, Kamis (6/10/2016). Â
Komaidi menuturkan, meskipun kebijakan ini tampak positif, terutama bagi sektor industri, pemerintah perlu lebih luas dalam melihat dan menyikapi masalah yang ada.
Baca Juga
Penetapan harga gas sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan masukan kedua-belah pihak, tidak hanya industri pengguna gas tetapi juga industri yang memproduksikan gas itu sendiri.
Sedangkan untuk harga gas dari negara lain yaitu, Vietnam, Malaysia, dan Singapura, sebagai pembanding harga gas di dalam negeri perlu dilihat lebih hati-hati.
Pertama, perlu dilihat lebih lanjut apakah harga tersebut merupakan harga rata-rata di negara yang bersangkutan atau hanya harga untuk kontrak tertentu. Kedua, perlu diketahui harga yang ditetapkan merupakan refleksi harga pasar (keekonomian proyek) atau harga karena adanya subsidi dari pemerintah.
"ReforMiner menilai hal yang tidak kalah penting untuk dilihat pemerintah dalam hal ini adalah mengetahui apakah benar bahwa relatif tidak bersaingnya industri nasional semata-mata karena kontribusi dari harga gas yang dinilai mahal atau juga karena sebab yang lain," ungkap komaidi.
Dari sejumlah indikator yang ada, Komaidi menilai tidak bersaingnya industri dalam negeri bukan semata-mata karena harga gas. Ketergantungan industri nasional terhadap komponen impor juga menjadi penyebab utama.
Data yang ada menunjukkan sektor industri Indonesia cukup tergantung dengan komponen impor. Hal itu salah satunya tercermin dari porsi impor bahan penolong dan barang modal terhadap total impor mencapai tidak kurang dari 90 persen.
"Dari informasi yang ada tersebut, pemerintah perlu lebih proporsional dalam melihat permasalahan. Dalam hal ini belum tentu sepenuhnya tepat jika kemudian upaya peningkatan daya saing industri oleh pemerintah hanya terfokus pada penurunan harga gas," tutur Komaidi. (Pew/Ahm)
Advertisement