Liputan6.com, Jakarta - Mantan Direktur Utama Pertamina Ari Soemarno memandang saat ini kondisi energi Indonesia sudah di ambang krisis. Hal itu lantaran menipisnya sumber daya alam energi Indonesia dan masih ada hambatan untuk mengembangkan energi di Indonesia.
Ari menyatakan, krisis energi Indonesia sudah di ambang mata, dengan begitu berpengaruh pada ketahanan energi. Ini akibat menurunnya sumber energi baik primer dan sekunder.
"Negara ini di ambang krisis energi dikatakan menurun produksi sumber daya alam energi kita, baik energi primer atau sekunder. Melihat ketahanan energi kita sudah berada di lampu merah‎," kata Ari, dalam sebuah diskusi, di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (29/11/2016).
Ari mengungkapkan‎, sumber energi andalan Indonesia yaitu minyak terus menurun produksinya. Kondisi ini membuat produksi lebih kecil dari kebutuhan, sehingga memaksa harus mengimpornya sejak 2008. Kemudian diikuti gas. Banyak pihak memperkirakan Indonesia menjadi importir gas mulai 2020.
Baca Juga
"Indonesia net importir minyak sejak 2008 kebutuhan semkain besar. 2020-2025 kita jadi importir gas. Gas ini seolah menyelamatkan sumber energi kita padahal tidak, padahal lima tahun lagi kita sudah menjadi net importir gas," lanjut Ari.
Ari menambahkan, sektor listrik dapat terlihat pada program 35 ribu Mega Watt (MW) yang tidak tercapai. Hal ini akan bernasib sama seperti program percepatan kelistrikan ‎(Fastrack Programe/FTP) I dan II yang dicanangkan pemerintah sebelumnya.
‎"Kelistrikan program 35 ribu MW, sudah dikatakan jmuah di bawah target. Nasibnya seperti FTP I dan II‎," ucap Ari.
Ari mengungkapkan, untuk pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) masih mengalami beberapa kendala, sehingga target 23 persen porsi EBT dalam bauran energi pada 2025 terancam tidak terwujud. Sedangkan pembangunan infrastruktur minyak dan gas (migas) juga masih belum signifikan.
Dia melanjutkan, indikasi krisis energi Indonesia diperkuat dengan ketidakjelasan payung hukum, seperti Undang-Undang Migas yang tidak kunjung rampung revisinya. Hal ini juga dialamai pada revisi Undang-Undang (UU) Mineral dan Batubara.
‎"Indikasi menuju krisis memang terlihat dengan adanya kenyataan sebagai berikut sisi peraturan perundangan yang mengatur kebutuhan energi kita kenyataanya sudah tidak memadai. Lihat saja Undang-Undang migas perubahannya tidak efektif," tutur Ari.
Advertisement