Liputan6.com, Jakarta Sebanyak 30,4 juta keluarga tidak bisa lagi menikmati gas elpiji 3 kilogram (kg)‎ dengan harga murah tahun depan. Ini konsekuensi dari penerapan kebijakan penyaluran subsidi tepat sasaran.
Direktur Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I Gusti Nyoman Wiratmaja mengatakan, saat ini ada 57 juta penerima paket perdana konversi minyak tanah ke elpiji 3 kg.
Berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), hanya ada 26,6 juta keluarga yang berhak mendapat subsidi elpiji. Dengan begitu, akan ada 30,4 ‎juta keluarga yang tidak berhak mendapat subsidi elpiji 3 kg.
‎"‎Kira-kira 40 persen dari yang mendapat paket perdana. Datanya dari TNP2K, jumlanya 26,6 juta (yang berhak mendapat subsidi)," kata Wiratmaja, di Gedung DPR, Selasa (13/6/2017).
Menurut dia, setelah kebijakan penyaluran subsidi tepat sasaran berlaku maka subsidi hanya akan dinikmati pihak yang masih berhak‎ mendapatkannya. Penyaluran subsidi elpiji nantinya akan menggunakan media kartu yang diisi dengan uang elektronik. Artinya, setiap pembelian elpiji 3 kg harus menyertakan kartu yang diterbitkan Kementerian Sosial.
"Akan digunakan kartu keluarga sejahtera yang dikeluarkan Kemensos, jadi kita bekerja sama dengan Kemensos," dia menjelaskan.
Sebelumnya, setiap keluarga yang berhak diperkirakan akan mendapatkan subsidi sekitar Rp 75 ribu per bulan. Perhitungannya, saat ini pemerintah memberikan subsidi Rp 6Â ribu per kg atau sekitar Rp 18 ribu per tabung.
Setiap keluarga mendapatkan jatah subsidi untuk tiga tabung atau sekitar Rp 60 ribu. Jika dibulatkan ke atas, tiap keluarga mendapatkan Rp 75 ribu per bulan.
Agar program berjalan lancar, pemerintah bekerja sama dengan beberapa bank seperti BRI, BNI, Mandiri dan BTN.
Menurut Wiratmaja, program elpiji tepat sasaran ini diperkirakan akan menghemat subsidi hingga Rp 20 triliun. Saat ini dengan tidak adanya pengaturan, subsidi LPG sekitar Rp 40 triliun sampai Rp 44 triliun. "Program ini diperkirakan menghemat subsidi sekitar Rp 20 triliun," ucap Wiratmaja.
Advertisement