Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta campur tangan pemerintah dalam persoalan tutupnya seluruh gerai 7-Eleven per 30 Juni ini, terutama mengenai sekitar 2.000 karyawan yang harus kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Lantaran penghentian operasional 7-Eleven, salah satunya imbas dari kebijakan pemerintah.
"Dampaknya sekitar 2.000 karyawan 7-Eleven ter-PHK, nasibnya bagaimana. Kami berharap pemerintah daerah dan pusat memikirkan bagaimana dengan kehidupan mereka, karena regulator belum memberi izin sehingga mereka tidak bisa ekspansi," tegas Ketua Umum Aprindo, Roy N. Mandey saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Sabtu (1/7/2017).
Roy mengungkapkan, tumbangnya 7-Eleven karena peraturan mengenai toko ritel modern tak kunjung direvisi. Sebagai contoh, Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Advertisement
Kemudian Perpres 112 Tahun 2017 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Serta Permendag Nomor 70 Tahun 2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.
Baca Juga
"Kita intinya sangat mendukung dan setuju menjaga substansi dari regulasi ini bahwa format minimarket dengan luas kurang dari 400 meter, hanya untuk peritel lokal," ujar Roy.
"Tapi ketika datang waralaba asing seperti 7-Eleven, sudah audiensi dengan Kementerian terkait sejak 2012, bolak balik sampai dapat surat teguran, mereka minta aturan itu di revisi lah. Bahwa format minimarket kurang dari 400 meter, yang mendatangkan teknologi baru, memiliki bisnis model pertama di Indonesia, ya dikasih kesempatan," ujar dia.
Namun hingga saat ini, kata Roy, usulan tersebut belum direspons oleh pemerintah. Jadi 7-Eleven hanya menjalankan usaha dengan izin dari Dinas Pariwisata Kota. Jaringan toko kelontong yang terkenal dengan minuman slurpee ini tak mampu mengepakkan sayap ke kota lain, selain Jakarta.
"Sudah berkembang 168 toko, tapi hanya di wilayah Jakarta saja. Itupun terbatas. Pengembangan akhirnya sepi, ya tentunya mereka tidak bisa bertahan hidup. Setelah 5 tahun nyewa tempat yang crime, ditambah industri ritel sedang terpuruk, sewa mahal, pendapatan kurang, tidak ada angin segar dari pemerintah, 7-Eleven harus failed atau keluar dari bisnis ritel di Indonesia," tegas Roy.
Oleh karena itu, Aprindo berharap, pemerintah dapat merevisi atau mengkaji kembali peraturan-peraturan yang menyangkut toko ritel modern, khususnya yang masih menggunakan model lama.
"Kalau pemerintah mau ekonomi berkeadilan, tidak hanya UMKM dan pasar rakyat, tapi juga pasar modern. Harus ada stimulus saat ritel lagi terpuruk, mau ekspansi ke luar negeri saja tidak ada peran pemerintah," kata Roy.
Ia menuturkan, bisnis ritel lesu sejak dua tahun terakhir akibat pelemahan daya beli masyarakat. Pelaku industri mendesak pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang dapat merangsang kembali minat belanja masyarakat, menggeliatkan lagi usaha ritel modern.
Pertama, lanjut Roy, mempertahankan harga-harga energi, antara lain bahan bakar minyak (BBM), listrik, gas yang sangat sensitif bagi masyarakat mampu, apalagi tidak mampu. Dia menuturkan, perlu ada pemikiran strategis dari regulator supaya harga-harga energi tidak naik. Kedua, berupaya menurunkan suku bunga pinjaman perbankan sehingga uang masyarakat dapat dialokasikan lagi untuk berbelanja.
"Ketiga, pahami pola prilaku konsumen. Mereka sangat sentimen dengan satu situasi atau aturan yang sudah dinyatakan lalu ditarik kembali atau tidak jadi diberlakukan," ujar dia.
Roy menilai, kondisi tersebut dapat menjadi sentimen negatif yang menahan masyarakat membelanjakan uangnya. "Hati-hati kalau menyampaikan peraturan, kalau belum matang jangan dikeluarkan dulu. Kalau ditarik lagi, bisa jadi sentimen negatif yang menggerus daya beli atau orang jadi menahan belanja," pintanya.
Lagi-lagi, Roy mendesak pemerintah atau regulator merelaksasi aturan toko ritel modern yang sampai sekarang belum terealisasi. Harapannya, agar ekspansi toko modern menggunakan izin sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) maupun zonasi.
"Perizinan toko modern diberikan satu relaksasi. Biar tidak lambat, ekspansi sesuai RTRW atau zonasi. Tapi kita masih menunggu revisi Perpres 112 terkait ekspansi toko ritel modern yang sampai sekarang belum keluar," pungkas Roy.
Â
Â
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:
Â
Â
Â