Memetik Pelajaran dari Kasus Gerai 7-Eleven di Indonesia

Gerai 7-Eleven di Indonesia akan tutup per 30 Juni 2017 lantaran keterbatasan sumber daya.

oleh Agustina MelaniFiki Ariyanti diperbarui 27 Jun 2017, 10:30 WIB
Diterbitkan 27 Jun 2017, 10:30 WIB
Sevel Tutup
Warga melihat-lihat kawasan gerai 7-Eleven yang tutup di kawasan Jalan Kapten Tendean, Jakarta, Sabtu (24/6). Penutupan seluruh gerai 7-Eleven di Indonesia akan dilakukan 30 Juni 2017. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Gerai 7-Eleven di Indonesia akan tutup pada 30 Juni 2017. Penutupan ini dinilai sejumlah pihak disebabkan berbagai macam faktor, mulai dari internal hingga eksternal. Akan tetapi, penutupan gerai 7-Eleven di Indonesia juga dapat menjadi pelajaran.

Akademisi dan praktisi bisnis, Rhenald Kasali, angkat bicara mengenai penutupan gerai 7-Eleven di Indonesia. Ia menilai ada berbagai faktor dapat membuat bisnis alami kemunduran. Terkait penutupan gerai 7-Eleven ada kabar yang menyebutkan kalau bisnisnya terlalu cepat besar, tidak merespons kebijakan, dan konsep nongkrong yang gagal.

PT Modern Internasional Tbk melalui anak usahanya PT Modern Sevel Indonesia mengelola gerai 7-Eleven dengan konsep berbeda dari bisnis minimarket lainnya. Mereka menyediakan fasilitas wifi, berbagai macam makanan ringan, dan kopi. Fasilitas ini mendorong masyarakat terutama anak muda betah nongkrong di gerai 7-Eleven. Konsep ini pula yang membuat sejumlah minimarket lainnya meniru model bisnis 7-Eleven.

Oleh karena itu, Rhenald menilai konsep nongkrong yang gagal itu kurang pas. Lantaran PT Modern Internasional Tbk melalui anak usahanya PT Modern Sevel Indonesia (MSI) mampu mencetak penjualan mencapai Rp 1 triliun pada 2012.

Rhenald menuturkan, bisnis model yang dijalankan 7-Eleven di Indonesia tidak hanya ritel tetapi juga menyediakan makanan cepat saji dan tempat untuk nongkrong. Ini juga mendorong bisnisnya cepat berkembang dan diminati anak muda.

Ia menyoroti peran regulator turut mempengaruhi bisnis model 7-Eleven di Indonesia. Rhenald menilai regulator masih mengikuti pola lama soal perizinan. Pelaku usaha dalam hal ini manajemen 7-Eleven di Indonesia saat itu harus memiliki izin untuk menjalankan bisnis ritel dan restoran.

"Desain konsep bisnis 7-Eleven menjadi masalah. Kementerian A bilang boleh, tapi kementerian B tidak boleh. Kementerian ini ingin menerapkan aturan dengan lainnya seperti ritel besar-besar yang tidak ada restorannya," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, seperti ditulis Selasa (27/6/2017).

Rhenald menilai, regulator kadang mengikuti dan menyenangkan pemain yang sudah ada tapi tak mau berinovasi atau disebutnya lazy incumbents. Bila itu terus terjadi maka dapat menghambat inovasi. Pelaku usaha lama pun tak mengantisipasi perubahan konsep persaingan dengan model bisnis baru.

Oleh karena itu, ia mengharapkan regulator tidak hanya terpaku dengan pemain lama saja, tetapi juga mendorong inovasi baik dari pemain lama. Apalagi menurut Rhenald saat ini para pemain di dunia kencang untuk berinovasi.

"Inovasi ke depan memang akan membuat lebih murah. Kalau tidak mendorong pelaku lama melakukan inovasi maka potensi kita akan diambil oleh pendatang luar negeri lewat internet of things," ujar dia.

Rhenald menambahkan, regulator juga seharusnya lebih terbuka dan memberikan ruang bagi pemain baru. Ini agar pemain baru juga mendapatkan tempat dan membuka peluang usaha. Selain itu, Rhenald juga mengharapkan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) benar-benar dilaksanakan oleh pemerintah.

Rhenald menilai, perilaku regulator tersebut tidak hanya terjadi dalam kasus 7-Eleven, tetapi juga sektor usaha lainnya mulai dari baja, taksi online hingga sektor keuangan. Terkait penutupan seluruh gerai 7-Eleven ini, Rhenald menilai hal itu tak menunjukkan bisnis ritel di Indonesia lesu.

"Convenience store yang umumnya dekat dengan pelanggan akan selalu ada," kata dia.

Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan P Roeslani menilai tutupnya 7-Eleven karena konsep bisnis yang kurang tepat dijalani di Indonesia.

"7-Eleven ini bisnis modelnya kurang tepat di Indonesia. Saya sudah lihat sejak pertama dibuka," kata Rosan di sela-sela acara halalbihalal di rumah pribadinya kawasan Kemang, Jakarta, Senin 26 Juni 2017.

Pendiri Grup Recapital ini menilai, bisnis model yang membawa 7-Eleven dalam keterpurukan karena dengan marjin keuntungan yang tipis 1 sampai 3 persen, tapi pembeli bisa nongkrong berjam-jam hanya dengan membeli satu produk. Sementara biaya sewa toko besar dan tidak mampu ditutupi dari hasil penjualan.

"Bisnis modelnya kurang tepat karena marjin ritel itu cuma 1 sampai 3 persen, mestinya in-out cepat. Bukan cuma beli roti satu, lalu duduk sampai berjam-jam. Sedangkan biaya sewa ruangan besar," papar Roesan.

Berbeda dengan Alfamart dan Indomart, kata Rosan, ongkos sewa yang tidak sebesar 7-Eleven, tapi kedua toko ritel modern tersebut mencatatkan volume transaksi yang jauh lebih tinggi dibanding toko ritel dari Amerika Serikat (AS) itu.

"Alfamart dan Indomart tempat kecil, efisien, orang keluar masuk, volumenya banyak. Kalau fix cost besar dipakai buat nongkrong doang, ya tidak jalan. Kecuali marjinnya besar, bolehlah," Rosan menerangkan.

 

 

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:

 

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya