Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati tengah memformulasikan skema pungutan pajak bagi toko online atau yang disebut e-commerce guna mengejar target penerimaan pajak. Upaya ini didukung kalangan pengusaha dan DPR.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan P. Roeslani mengungkapkan, setiap usaha yang memperoleh keuntungan di Indonesia harus memenuhi kewajiban perpajakannya kepada negara. Hal ini untuk memberikan keadilan bagi seluruh wajib pajak.
"Ya fair (adil) lah, usaha di sini mesti dipajakin. Kalau tidak, ya tidak fair," tegas Rosan saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Kamis (24/8/2017).
Rosan beralasan, bisnis online atau e-commerce di Indonesia tumbuh pesat. Perkembangan toko-toko online begitu cepat, sehingga memiliki koneksi atau jaringan yang lebih luas.
"Perkembangannya luar biasa besar, jadi kita harus antisipasi ke depan (pajak). Kebiasaan membeli, prilaku konsumen kan terekam dengan sistem online yang ada. Jadi wajib bayar pajak lah, supaya level playing field-nya sama," tuturnya.
Namun demikian, ia berharap, pemerintah tidak memajaki toko-toko online skala kecil (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah/UKM). "Yang masih kecil, start up biarin saja dulu tumbuh. Kalau sudah besar baru dipajaki. Kalau mereka tumbuh kan banyak tenaga kerja yang terserap, jadi makin bagus untuk ekonomi kita," ujar Rosan.
Sementara itu, Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Adisatrya Suryo Sulisto mengungkapkan, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.609,4 triliun atau naik 9,3 persen di Rancangan APBN 2018 dibanding outlook 2017 yang sebesar Rp 1.472,7 triliun. Setoran pajak diharapkan Rp 1.379,4 triliun di 2018 atau naik Rp 137,6 triliun dibanding outlook tahun ini Rp 1.241,8 triliun.
"Pemerintah perlu menghitung dengan cermat target pajak dan menjaga iklim usaha, menggali sumber pendapatan baru, yakni dengan menyasar ke e-commerce yang tumbuh pesat dalam tiga tahun terakhir," ucapnya.
Tarik Pajak Toko Online
Sekadar informasi, Sri Mulyani mengatakan, pungutan pajak bagi lapak-lapak online adalah karena pertumbuhan sektor e-commerce sangat pesat.
"Tim Kementerian Keuangan, baik Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai sedang melakukan formulasi (pungutan pajak) untuk e-commerce," tutur Sri Mulyani.
Pemerintah melalui Kemenkeu mampu mendeteksi transaksi perdagangan online karena memiliki pembukuan secara otomatis sehingga lebih mudah dan taat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Namun tantangan terberatnya adalah memajaki transaksi dari bisnis online asing, bahkan perlu untuk dibahas antar para Menkeu negara-negara anggota G20. Salah satunya menyangkut pembagian penerimaan dari bisnis berbasis digital tersebut.
"Untuk beberapa Hub di luar Indonesia perlu didiskusikan di dalam G20 oleh para Menkeu bahwa pemajakan bisnis basis digital bukan persoalan mendeteksinya, tapi pembagian penerimaan yang dinamis," ujarnya.
"Di negara besar seperti Indonesia, bisa muncul seperti Australia, penjualnya di Provinsi A, dan pembelinya di Provinsi B, pajaknya harus ada di mana karena ini beda dengan punya toko di daerah tertentu, maka ada pajaknya," tambah Sri Mulyani.
Dalam kesempatan yang sama, Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak, Suryo Utomo mengungkapkan, pemerintah akan diskusi dengan para pelaku usaha bisnis online, terutama e-commerce di dalam negeri. "Pergeseran pola transaksi dari konvensional ke e-commerce menjadi konsen di Kemenkeu," ujarnya.
Pemerintah menargetkan segera memajaki transaksi bisnis online di Indonesia. "Mudah-mudahan dalam waktu tidak lama lagi kita bisa mendefinisikan model transaksi dan cara pemajakan e-commerce. Kita lagi berkomunikasi dengan BKF Kemenkeu tentang skema pemajakan yang dilakukan," tutur Suryo.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Suahasil Nazara mengatakan, e-commerce merupakan model bisnis baru yang dideteksi mengalami pertumbuhan cukup tinggi di Indonesia. Terbukti, lanjutnya, banyak pedagang yang mulai merambah bisnis online, selain membuka toko konvensional.
Advertisement