Alasan Sri Mulyani Ingin Pungut Bea Masuk Software hingga E-Book

Tarif bea masuk yang berlaku saat ini berkisar nol persen sampai 125 persen.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 12 Des 2017, 08:16 WIB
Diterbitkan 12 Des 2017, 08:16 WIB
Pajak
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati berencana memungut bea masuk dari barang-barang tak berwujud (intangible goods) atau disebut barang-barang digital (digital goods). Saat ini, pemerintah sedang berjuang melobi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk mengakhiri moratorium.

"Pernyataan Bu Menkeu jelas, kita akan mengenakan (bea masuk) untuk digital goods. Kita akan putuskan hasil akhirnya setelah sidang WTO selesai," tegas Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), Deni Surjantoro saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (12/12/2017).

DJBC Kementerian Keuangan bersama Kementerian terkait, seperti Kementerian Perdagangan tengah melakukan perundingan untuk meyakinkan WTO terhadap kebijakan bea masuk barang-barang digital, seperti jual beli software (perangkat lunak), e-book (buku elektronik), mengunduh film dan lagu di situs luar negeri, serta lainnya. Negosiasi atau lobi ini sedang berlangsung di Argentina.

"Selama ini kan kita belum pernah mengenakan bea masuk dan pajak impor atas digital goods ini. Jadi DJBC bersama kemeterian terkait lagi di Argentika untuk upaya lobi menjelaskan posisi kita terhadap moratorium supaya dibuka," Deni menjelaskan.

Untuk diketahui, moratorium atau penghentian sementara pengenaan perpajakan terhadap intangible goods oleh WTO secara elektronik akan berakhir pada 2017. Seharusnya otomatis mulai Januari 2018, moratorium sudah dicabut.

Akan tetapi, menurut Deni, ada keinginan dari negara maju untuk melanjutkan moratorium pungutan perpajakan atas barang-barang tersebut.

"Misalnya Freeport kirim software dari kantor pusat (AS) ke Indonesia dengan cara di download. Mereka menganggap business to business (B2B), tapi pemerintah mendukung saja," terangnya.

Sementara pemerintah Indonesia beralasan harus menciptakan kesetaraan atau level playing field yang sama antara barang-barang digital yang diperjualbelikan secara konvensional maupun online.

"Kan sudah berakhir di 2017, dan kita menganggap perlu ada kesetaraan antara perdagangan konvensional dan online. Barang-barang sejenis di dalam negeri sudah kena pajak, tapi kok yang dari luar negeri, malah tidak kita kenakan. Lagipula moratorium ini sudah lama," kata Deni.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

PPN dan PPh

Deni menegaskan, barang-barang digital seperti software, e-book, film, dan lagu dari luar negeri yang diunduh di situs asing akan dikenakan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor dan Pajak Penghasilan (PPh) impor Pasal 22.

"Besaran tarif bea masuk untuk digital goods sedang dihitung menunggu hasil keputusan sidang WTO. Yang pasti tidak akan sampai membuat bangkrut perusahaan lantaran membayar bea masuk atas barang-barang tersebut. Ini yang kita yakinkan juga ke WTO," Deni menuturkan.

Sekadar informasi, tarif bea masuk yang berlaku saat ini berkisar nol persen sampai 125 persen. Sedangkan tarif PPN impor yang dikenakan 10 persen, dan tarif PPh Pasal 22 atas impor barang rata-rata 2,5 persen dan 7,5 persen.

"Tarif bea masuk belum diputuskan, bisa 0,5 persen, 1 persen, atau 5 persen. Kita akan komunikasikan dengan stakeholder sehingga tidak membuat perusahaan bangkrut atau menjadi tidak perdagangan lagi," pungkas Deni.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya