Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun menilai perlu adanya tata niaga tembakau. Hal ini penting agar adanya hubungan yang saling menguntungkan antara petani tembakau dengan industri hasil tembakau.
"Perlu diatur tata niaga tembakau terutama impor untuk melindungi petani tembakau," jelas dia, Sabtu (3/3/2018).
Politisi Partai Golkar ini kembali menegaskan akan mengawal RUU Pertembakauan yang mengedepankan kepentingan petani tembakau. Menurutnya, persoalan tembakau jika hanya diseret pada permasalahan kesehatan saja, maka akan menimbulkan ketidakadilan.
Advertisement
Ini dia sampaikan kepada petani tembakau di Wonomerto, Probolinggo. Misbakhun menyebut bahwa tembakau adalah komoditas pertanian yang sudah turun temurun dibudidayakan masyarakat, sebagaimana masyarakat petani tembakau di Probolinggo yang menyangkut masalah ekonomi dan budaya yang tidak bisa begitu saja dinafikan.
Belum lagi persoalan petani tembakau, di antaranya penyediaan bibit tembakau unggul, dan pembiayaan permodalan yang dibutuhkan petani. Pada konteks inilah, negara harus hadir dalam memberikan perlindungan kepada petani tembakau.
"Petani tembakau adalah konstituen saya. Karena itu, Saya berkomitmen akan istiqomah mengawal kepentingan petani tembakau melalui RUU Pertembakauan," ujar Misbakhun.
Dia mengatakan bahwa Probolinggo merupakan salah satu sentra penghasil tembakau terbesar di Jawa Timur. Provinsi Jawa Timur sendiri adalah kontributor terbesar cukai tembakau nasional dari total pendapatan Rp 154 triliun.
"Karena Probolinggo sebagai salah satu sentra penghasil tembakau, maka menjadi urgen untuk perlindungan petani tembakau," kata Misbakhun.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), jumlah produksi tembakau secara nasional hanya mencapai kisaran 190 ribu -200 ribu ton per tahun. Angka tersebut jauh di bawah kebutuhan industri, yakni 320 ribu-330 ribu ton tembakau per tahun.
Pembatasan Impor Tembakau Kembali Tuai Protes
Pelaku industri rokok menilai langkah pemerintah untuk membatasi impor tembakau melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau tidak tepat.
Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI), Djoko Wahyudi, menyatakan produksi tembakau di dalam negeri saat ini belum mampu mencukupi kebutuhan industri rokok nasional.
Dalam beleid Permendag Nomor 84, ada pembatasan impor tembakau jenis Virginia, Burley, dan Oriental. Padahal, ketiga jenis tembakau ini dibutuhkan industri rokok, sedangkan hasil pertanian tembakau dalam negeri belum mencukupi.
"Kalau keran impor itu dikurangi, pasokan tembakau akan turun. Kami pun tidak akan mendapatkan garapan dan ini efeknya akan besar," kata dia, Senin (12/2/2018).
Baca Juga
Pengetatan impor tembakau, menurut Djoko, justru akan menciptakan dampak sistemik pada mata rantai tembakau di industri rokok.
“Kalau mau menyejahterahkan petani bukan dengan menutup keran impor, itu salah besar. Perintahkan kepada semua pabrik rokok untuk membangun program kemitraan, dijamin petani tembakau sejahtera," ucap dia.
Djoko melanjutkan, impor tembakau masih dibutuhkan oleh industri rokok. Karena itu, dia mendesak pemerintah untuk memperbaiki beleid pembatasan impor tembakau.
“Iya, itu masih jauh (aturan). Kenapa impor? Karena jumlahnya masih kurang," kata dia.
Pada pekan lalu, Djoko bertemu dengan Panitia Khusus RUU Pertembakauan di Surabaya, Jawa Timur. Pada kesempatan ini, pemangku kepentingan tembakau memberikan masukan kepada Tim Pansus.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), jumlah produksi tembakau secara nasional hanya mencapai kisaran 190 ribu -200 ribu ton per tahun. Angka tersebut jauh di bawah kebutuhan industri, yakni 320 ribu-330 ribu ton tembakau per tahun.
Untuk saat ini, menurut Djoko, solusi buat meningkatkan produksi tembakau nasional dengan cara membangun kemitraan. Pemerintah harus memberikan arahan kepada para pabrikan rokok yang sejauh ini belum melakukan kemitraan, untuk segera menjalin kerja sama dengan petani tembakau. Lebih baik lagi jika arahan tersebut dikuatkan dengan payung hukum.
“Jadi pemerintah harus hadir di situ, sehingga pabrikan bisa memberikan pembinaan yang baik,” katanya.
Melalui program kemitraan, pabrik rokok dapat langsung mendiskusikan dengan para petani terkait besaran jumlah tembakau yang diperlukan untuk produksi dan kualitasnya. Dengan begitu, ketergantungan terhadap impor akan berkurang.
“Kalau begini, petani dan pabrikan rokok sejahtera. Pabrikan tetap jalan dan karyawan bisa terus bekerja. Semuanya enak,” ucap dia.
Djoko juga mengatakan, selama ini tata niaga tembakau terlalu panjang karena banyaknya tengkulak. Dengan bermitra maka akan menghilangkan tengkulak yang selama ini membeli murah dari petani dan menjual mahal ke pabrikan.
Advertisement