Pengetatan Impor Tembakau Berpotensi Pangkas Penerimaan Negara

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, pemerintah menargetkan penerimaan cukai rokok sebesar Rp 148,23 triliun.

oleh Nurmayanti diperbarui 29 Jan 2018, 16:44 WIB
Diterbitkan 29 Jan 2018, 16:44 WIB
Ilustrasi tembakau.
Ilustrasi tembakau.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diminta mengkaji kembali Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 84 Tahun 2017 (Permendag 84 Tahun 2017) tentang Ketentuan Impor Tembakau ditinjau ulang. Aturan tersebut dinilai berpotensi mengancam penerimaan negara.

Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Haryo, menyatakan pajak dari industri rokok merupakan salah satu sumber penerimaan negara terbesar.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, pemerintah menargetkan penerimaan cukai rokok sebesar Rp 148,23 triliun. Jumlah ini setara dengan 95,4 persen dari total target penerimaan cukai sebesar Rp 155,40 triliun.

"Dengan pembatasan impor tembakau, industri rokok bisa hancur. Rokok itu sumber pemasukan terbesar ketiga bagi negara dan ini juga untuk anggaran pembangunan negara," kata Bambang di Jakarta, Senin (29/1/2018).

Dampak dari pengetatan impor tembakau, menurut Bambang, memang sangat besar. Aturan ini berpotensi menurunkan produksi industri hasil tembakau di dalam negeri, karena pembatasan justru dilakukan kepada tiga jenis tembakau utama yang menjadi bahan baku rokok yaitu Virginia, Burley, dan Oriental.

Padahal, produksi tembakau Virginia dan Burley oleh petani lokal masih sangat minim. Bahkan, tembakau Oriental sama sekali belum diproduksi di Indonesia.

Oleh karenanya, kebijakan pengetatan impor harus berpatokan dengan kondisi di lapangan. Saat ini, Indonesia masih kekurangan tembakau 40 persen untuk kebutuhan nasional.

"Pabrik rokok harus hidup terus karena itu pasokan tembakau mesti tercukupi. Sebagian besar kekurangan tembakau memang harus diisi dari impor," dia menjelaskan.

Pembatasan impor yang berimbas terhadap penurunan produksi tembakau di Indonesia akan berdampak terhadap nasib banyak pihak. Di antara mereka yang paling terpukul adalah para petani tembakau, buruh linting, hingga pedagang.

"Dari 56 juta usaha mikro, kecil dan menengah sebanyak 20 persennya adalah penjual rokok. Kalau pasokan tembakau berkurang akan terjadi kekurangan pasokan dan kelebihan permintaan, sehingga harga jual semakin tinggi," tegas politikus dari Fraksi Partai Gerindra tersebut.

Kementerian Perdagangan telah menerbitkan Permendag 84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau. Sejumlah pihak menilai aturan tersebut tak tepat. Salah satunya terkait pembatasan impor tembakau jenis Virginia, Burley, dan Oriental.

Hingga kini belum jelas, apakah pemerintah akan merevisi atau mencabut peraturan tersebut.

Di saat yang sama, DPR juga kembali memasukkan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018. Padahal, pembahasan undang-undang tersebut sempat dihentikan.

Petani juga menilai impor tembakau masih dibutuhkan. Ketua Umum Komunitas Kretek Adityo Purnomo, menegaskan ketersediaan tembakau Virginia di lapangan masih sedikit, sehingga perlu dilakukan impor untuk menutupi defisit. Selama ini tembakau Virginia lebih banyak digunakan untuk jenis rokok mild.

"Impor bisa diminimalisir, tetapi sebelum itu terjadi atau kebutuhan akan tembakau Virginia tercukupi, pembatasan impor belum bisa dilakukan," kata Adityo.

 

Pengusaha Minta RUU Tembakau Perhatikan Kelangsungan Industri

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakuan memperhatikan kelangsungan industri hasil tembakau (IHT) di dalam negeri. Sebab, selama ini industri telah berkontribusi besar terhadap penerimaan negara melalui cukai.

Anggota Komisi Tetap Multilateral dan FTA Kadin Indonesia Wilson Andrew mengatakan, cukai yang dihasilkan produk industri tembakau seperti rokok mampu berkontribusi hingga Rp 130 triliun.

"Kadin mendukung kegiatan ekonomi di dalam negeri.‎ Kita melihat banyak investasi dari dalam dan luar negeri. Pajak cukai rokok ini mencapai Rp 130 triliun," ujar dia dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Panitia Khusus (Pansus) DPR di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/1/2018).

Selain itu, lanjut dia, IHT juga mampu menyerap banyak tenaga kerja di dalam negeri. Berdasarkan riset Ernst & Young di 2015, IHT menyerap 5,98 juta tenaga kerja yang terdiri dari 4,28 juta orang di sektor hilir dan 1,7 juta orang di sektor hulu.

"Tenaga kerja ini dari sisi pertanian, industri, dan ritelnya. Bahkan IHT menjadi penyerap tenaga kerja terbesar nomor 5 di Indonesia," dia menuturkan.

Sementara dari sisi perdagangan internasional, produk hasil tembakau juga mampu berkontribusi terhadap surplus neraca perdagangan Indonesia. Surplus dari produk ini diperkirakan mencapai US$ 468,3 juta.‎

‎"Kinerja ekspor impor juga konsisten memberikan suplus perdagangan. Ekspor IHT sebesar US$ 1 miliar, impor kurang dari US$ 600 juta. Jadi surplusnya sekitar US$ 468,3 juta. Ini di tengah ekspor komoditas yang saat ini banyak yang melemah, jadi ini sangat baik industrinya," tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya