Swasembada Bawang Putih Masih Terkendala Keterbatasan Lahan

Dari kewajiban tanam para importir dari Juli tahun 2017 hingga 2018 sebesar 4,75 ribu ha, yang terealisasi baru 1,33 ribu ha.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Apr 2018, 15:41 WIB
Diterbitkan 19 Apr 2018, 15:41 WIB
Ilustrasi bawang putih.
Ilustrasi bawang putih.(Liputan6.com/Yuliardi Hardjo)

Liputan6.com, Jakarta Target swasembada bawang putih pada 2021, yang salah satunya dilakukan melalui aturan wajib tanam bagi importir dinilai sulit tercapai. Ini melihat pada realisasi tanam untuk rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) yang masih jauh dari target.

Pengamat pertanian Dwi Andreas Santosa menilai, persoalan keterbatasan lahan bisa menjadi kendala utama dalam pencapaian target swasembada bawang putih pada 2021 tersebut.

Mengacu data Direktorat Jenderal (Ditjen) Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan) per 16 Juli 2017, dari volume Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) sebesar 570,05 ribu ton, realisasi tanam baru terealisasi mencapai 27,96 persen.

Dengan kata lain, dari kewajiban tanam para importir dari Juli tahun 2017 hingga 2018 sebesar 4,75 ribu ha, yang terealisasi baru 1,33 ribu ha.

Menurut Dwi Andreas, saat ini tidak banyak lahan di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan tidak terlalu tinggi yang cocok untuk penanaman bawang putih.

"Kalaupun ada, sudah penuh sesak dengan komoditas lain, seperti kentang atau wortel," ujar dia, mengutip Antara, Kamis (19/4/2018).

Keterbatasan lahan ini yang membuat impor menjadi pilihan utama untuk menjaga pasokan bawang putih agar permintaan masyarakat atas komoditas ini tidak terganggu.

Namun, tidak hanya persoalan tanah, karena juga ada permasalahan lain, seperti infrastruktur, kemampuan sumber daya manusia, serta kepastian pasar. Untuk itu, penempatan sentra produksi bawang putih yang ideal hanya di sekitar wilayah Jawa dan Sumatera.

Padahal, lahan potensial di kawasan ini sudah berkurang jauh dan tanah kosong hanya tersedia sebanyak 56,4 ribu hektare.

Saat ini, lahan yang cocok untuk penanaman bawang putih lebih banyak terdapat di kawasan timur Indonesia. Salah satunya Timor Tengah Selatan di Nusa Tenggara Timur yang memiliki luas 166,1 ribu hektare.

Namun, Dwi Andreas mengatakan penanaman di kawasan tersebut tidak terlalu ideal karena berada di wilayah perbatasan dengan pasar yang tidak jelas.

Meski demikian, Kementerian Pertanian masih menyakini jumlah lahan untuk produksi bawang putih dalam negeri masih banyak dengan angka potensial mencapai 200 ribu ha.

Tak Tanam Bawang Putih, Importir Bisa Kena Sanksi

Ilustrasi Bawang Putih
Bawang putih.

Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan Indonesia mencapai swasembada bawang putih pada 2021. Untuk itu, Kementan akan mengeluarkan kebijakan guna menggenjot produksi bawang putih di dalam negeri.

Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Direktorat Jenderal Hortikultura Kementan Prihasto Setyanto mengatakan, untuk mencapai target swasembada dalam tiga tahun ke depan, dibutuhkan lahan bawang putih seluas 79 ribu hektare (ha).

“Untuk mencapai swasembada ditargetkan 2021, diperlukan luas tanam sekitar 65 ribu ha dan 14 ribu ha untuk pembibitan,” ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (12/4/2018).

Prihasto mengungkapkan, mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH), impor harus diintegrasikan dengan pengembangan komoditas dalam negeri. Selanjutnya dalam Permentan tersebut juga diatur pelaku usaha yang melakukan impor bawang putih wajib menanam bawang putih di dalam negeri.

Lebih jauh dia menjelaskan, luas penanaman bawang putih sebesar lima persen dari volume permohonan per tahun dihitung berdasar produktivitas enam ton per ha. Penanaman paling lama satu tahun setelah RIPH terbit dan lokasi tanam diutamakan pada lahan baru.

“Realisasi tanam wajib dilaporkan kepada Ditjen dengan diketahui oleh Kepala Dinas kabupaten/kota yang menangani bidang pertanian, di lokasi penanaman,” jelas dia.

Dia juga menuturkan, ketentuan wajib tanam lima persen tersebut guna mendukung percepatan swasembada. Ini dimaksudkan agar usahanya berkelanjutan dan importir sejak dini sudah bisa mengembangkan bawang putih sendiri atau bermitra dengan petani.

“Sehingga nantinya tidak akan kesulitan mencari barang bila sudah swasembada dan impor disetop,” kata dia.

Prihasto menegaskan, sebenarnya tidak ada kendala dengan lahan. Alasannya, karena potensinya tersedia luas dan Kementan bersama dinas pertanian siap mendampingi mencari lahan yang sesuai, seperti di Solok Selatan, Cianjur, Garut, Bandung, Tasikmalaya, Tegal, Temanggung, Magelang, Karanganyar, Bima, Lombok Timur, Banyuwangi, Minahasa, dan lainnya.

“Setelah memperoleh rencana lokasi tanam bawang putih pun kami verifikasi cek lapang dan setelah tanam pun kami monitoring realisasinya,” ungkap dia.

Sementara terkait benih, kata Prihasto, benih bisa membeli dari benih lokal maupun impor. Benih lokal diperoleh dari hasil panen dan melalui proses patah dormansi. Sedangkan benih impor disarankan berasal dari Taiwan, Mesir, dan India yang telah diuji kesesuaiannya dan dicoba ditanam di Indonesia dan bisa berhasil tumbuh umbinya.

“Ya bagi importir yang melanggar ketentuan tersebut, dikenakan sanksi misalnya tidak diberikan RIPH pada tahun berikutnya dan sebagainya. Bentuk sanksi berbeda sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan. Jenis sanksinya sudah tertuang dalam peraturan tersebut,” jelas dia.

Untuk pasokan bawang putih saat ini, Prihasto menyebut untuk Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH) 2018, Kementan telah menerbitkan RIPH total 533 ribu ton. Ini lebih dari cukup, mengingat kebutuhan semester I sekitar 250 ribu ton.

“Ya berharap proses impornya lebih cepat, sehingga segera memasok ke pasar,” tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya