Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menilai, saat ini Indonesia harus mewaspadai berbagai tantangan kondisi eksternal agar tidak mengganggu perekonomian domestik. Salah satunya mencermati perkembangan perekonomian dan sistem keuangan global yang semakin kompleks dan dinamis.
"Kita tidak pernah perkirakan sebelumnya, kita yang dulu begitu menguasai perdagangan internasional mengalami defisit transaksi berjalan, kita juga tidak pernah menduga untuk pertama kali dalam 60 tahun koalisi barisan nasional dapat kalah dalam pemilu di Malaysia," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Erwin Rijanto di kantornya, Jakarta, Jumat (18/5/2018).Â
Advertisement
Baca Juga
"Kita juga kaget untuk pertama kali sejak 1953, Korea Utara memasuki Korea Selatan. Isu global yang dinamis tersebut menyebabkan risk on dan risk off di pasar keuangan,"Â dia menambahkan.Â
Lebih jauh diungkapkan Erwin, tantangan kedua dari kondisi eksternal yang perlu dicermati adalah pemulihan ekonomi negara maju yang lebih cepat dari perkiraan semula sehingga mengakibatkan normalisasi kebijakan moneter global yang lebih kuat.
"Analis terkemuka, JP Morgan bahkan memperkirakan bahwa US Treasury untuk 10 tahun itu bisa mencapai 4 persen. Bahkan salah satu di antaranya yang perlu kita lihat juga adalah bank sentral Argentina perlu meningkatkan policy rate sampai dengan 40 persen untuk menyikapi dinamika pada saat ini," ujarnya.
Tantangan ketiga, lanjutnya, dampak normalisasi kebijakan moneter global mengenai global likuiditas rebalancing yang bersifat permanen, antara lain terindikasi dari pengetatan likuiditas global dan berdampak pada pelemahan mata uang dunia.
"Global likuiditi rebalancing yang bersifat permanen disebabkan oleh perubahan pola penempatan modal di negara berkembang pasca-masuknya China dalam indeks branchmark seperti Morgan Stanley Composite Index atau MRSI," Erwin menjelaskan.Â
Â
Reporter :Â Yayu Agustini Rahayu Achmud
Sumber : Merdeka.com
Â
Tantangan Keempat
Selanjutnya, tantangan keempat mengenai masih tingginya ketergantungan perekonomian domestik terhadap pembiayaan eksternal.
"Kondisi tersebut terindikasi dari meningkatnya defisit neraca perdagangan, tingginya kepemilikan non-resident di SDN dan level DSR yang tinggi. Hal ini terutama disebabkan belum optimalnya pembiayaan domestik yang menyebabkan ketergantungan terhadap luar negeri di dalam pembiayaan pembangunan," terangnya.Â
Tidak hanya itu, tantangan kelima, Erwin mengatakan bahwa perang dagang juga harus dicermati dengan baik.
"Harus eskalasi terkait perang dagang yang jika terus berlanjut ini akan menyebabkan kontraksi dalam pertumbuhan ekonomi global sekitar 0,3 persen. Dalam perkembangan terjadi di pedagang tentunya kita berharap suasana ini dapat segera kondusif dan turut mendukung momentum pertumbuhan ekonomi di Tanah Air," pungkas dia.Â
Advertisement