Liputan6.com, Jakarta - Pelaku pasar diharapkan tidak terlalu cemas menghadapi fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Apalagi menyamakan depresiasi nilai tukar rupiah yang terjadi pada 2018 dengan yang pernah terjadi pada 1998.
"Depresiasinya (tahun 1998) bukan seperti sekarang. Sekarang memang Rp 14.400, tapi kan awalnya dari Rp 13.700. Jadi sebenarnya marginnya hanya dari Rp 13.700 ke Rp 14.400," ujar ekonom senior dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono ketika ditemui, di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (24/7/2018).
"Tahun 1998 loncatnya dari Rp 2.300 ke Rp 15.000. Jadi harap dibedakan. Orang jangan membandingkan Rp 14.400 mirip 1998 Rp 15.000. Enggak mirip. Karena 1998 loncat, free fall, dari Rp 2.300 ke 15.000," kata dia.
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, pasar juga diharapkan lebih rasional dalam menilai kondisi politik dalam negeri menjelang pemilu legislatif maupun pemilihan presiden.
Tony mengatakan, kondisi politik dan ekonomi saat ini jauh lebih kondusif, sehingga pasar seharusnya tidak perlu terlalu berpersepsi negatif.
"Indonesia tidak pernah mengalami chaos, kecuali tahun 1965 dan 1998. Itu penyebabnya awalnya bukan politik, tapi hyper inflation 1998 krisis rupiah terdeprisiasi," kata dia.
"Jadi karena itu pasar jangan terlalu nervous dengan hal ini. Harus rasional angka-angka itu ada penjelasannya. Ada the story behind," kata Tony.
Meskipun dalam pandangannya, depresiasi rupiah saat ini sudah keluar dari nilai fundamentalnya, tapi dia yakin nilai tukar rupiah masih akan kembali menguat.
"Ya jujur saja Rp 14.400 sudah di bawah di luar ekspektasi dan fundamental. Dugaan saya fundamental, kalau berkaca pada pertumbuhan ekonomi, inflasi, devisa, tidak layak rupiah itu Rp 14.400. Berarti masih ada persepsi yang kurang tepat terhadap rupiah. Yang sesuai fundamental Rp 13.700 sampai Rp 14.000. Masih ada room untuk menguat," ujar dia.
Seperti diketahui, bila melihat kondisi makro ekonomi Indonesia, kuartal I 2018, ekonomi Indonesia tumbuh 5,06 persen. Bank Dunia prediksi ekonomi Indonesia tumbuh 5,2 persen pada 2018.
Sementara itu, cadangan devisa Indonesia tercatat USD 119,39 miliar per 30 Juni 2018. Inflasi secara year on year (YoY) tercatat 3,12 persen. Target inflasi pada 2018 sekitar 3,5 persen plus minus 1 persen.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Rupiah Kembali Melemah ke 14.562 per Dolar AS
Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan hari ini.
Mengutip Bloomberg, Selasa 24 Juli 2018, rupiah dibuka di angka 14.546 per dolar AS. Nilai ini melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang berada di angka 14.482 per dolar AS.
Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.546 hingga 14.562 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 7,33 persen.
Adapun berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Intrbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.541 per dolar AS, melemah jika dibaningkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.454 per dolar AS.
Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada di Jakarta, Selasa, mengatakan, dari sisi tren terlihat masih ada peluang bagi rupiah untuk kembali melemah seiring minimnya sentimen positif dari dalam negeri.
"Untuk itu, diharapkan laju rupiah dapat menyerap sentimen pelemahan dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama global lainnya untuk menahan pelemahan lebih lanjut," ujar Reza dikutip dari Antara.
Rupiah diperkirakan akan bergerak di kisaran 14.492 per dolar AS hingga 14.477 per dolar AS.
Sebelumnya, meski laju dolar AS melemah terhadap sejumlah mata uang utama dunia, rupiah tidak banyak terkena imbas yang masih dalam pelemahannya.
Pergerakan tersebut sesuai dengan perkiraan sebelumnya dimana belum adanya sejumlah sentimen positif yang signifikan mengangkat rupiah membuat pergerakannya cenderung masih dalam tren pelemahannya.
Rupiah kembali melemah setelah Badan Anggaran DPR RI melakukan Rapat Panja Perumus Kesimpulan dengan Pemerintah mengenai pembahasan kesimpulan laporan realisasi Semester I dan Prognosis Semester II APBN TA dimana menyangsikan pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4 persen.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement