Ekonomi Ambruk, Harga Secangkir Kopi di Venezuela Capai Rp 240 Ribu

Minum kopi di negara sosialis Venezuela lebih susah ketimbang memesan kopi di negara kapitalis.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 28 Jul 2018, 20:00 WIB
Diterbitkan 28 Jul 2018, 20:00 WIB
Kelaparan, Warga Venezuela Nekat Jarah Truk-Truk Pengangkut Makanan
Seorang pemuda mengumpulkan biji-bijian jagung yang jatuh dari sebuah truk akibat dijarah di luar pelabuhan di Puerto Cabello, Venezuela, Selasa (30/1). Venezuela tengah menghadapi krisis ekonomi yang cukup parah. (AP Photo/Fernando Llano)

Liputan6.com, Caracas - Venezuela dikenal kaya akan minyak dan membanggakan diri sebagai negara penganut sosialisme. Sayangnya, para sosialis akan lebih sulit minum kopi di Venezuela ketimbang di kafe milik kapitalis.

Dilansir dari Bloomberg, kopi menjadi korban selanjutnya di Venezuela. Berkat inflasi yang meroket, harga secangkir kopi di Venezuela juga naik menjadi 2 juta bolivar atau sekitar Rp 240 ribu. (1 bolivar = Rp 0,12).

Harga tersebut naik dari minggu lalu ketika secangkir kopi "hanya" seharga 1,4 juta bolivar atau sekitar Rp 168 ribu. Padahal, tiga bulan lalu harga secangkir kopi di Venezuela masih terbilang wajar, yakni 190 ribu bolivar atau sekitar Rp 22 ribu.

Sebelumnya, IMF memprediksi Venezuela akan mengalami inflasi sampai 1.000.000 persen di akhir 2018. Fox Business menghitung, bila itu benar terjadi, maka harga makanan cepat saji pun bisa terimbas sampai menyentuh USD 35 ribu atau sekitar 4,2 miliar bolivar (1 bolivar = USD 0.0000083) atau Rp 505 juta.

Presiden Venezuela Nicolas Maduro sejauh ini hanya bisa melawan hiperinflasi dengan cara mencetak lebih banyak uang, alhasil nilai uang pun anjlok. Selain itu, ia berusaha menaikan upah mininum negara menjadi 5 juta bolivar. Tapi, jumlah itu pun tidak cukup untuk membeli 3 cangkir kopi.

Sebelumnya, diberitakan bahwa IMF inflasi yang terjadi di Venezuela lebih buruk dari Jerman pasca Perang Dunia I dan Zimbabwe pada dekade lalu. Kondisi Venezuela pun disebut lebih sulit dari Zimbabwe, sebab negara Afrika tersebut memiliki ekonomi yang lebih terdiversifikasi, sementara Venezuela bergantung pada minyak semata.

Kedepannya, Maduro akan mencetak mata uang baru sekaligus melakukan denominasi. Lima angka nol di Bolivar akan dihilangkan. Hal ini meningkat ketimbang denominasi pada Maret lalu yang menghilangkan tiga angka nol pada bolivar.

IMF Ramal Inflasi Venezuela Tembus 1.000.000 Persen

Inflasi Parah di Venezuela, Masyarakat Lokal Ciptakan Mata Uang Baru
Sejumlah uang lokal ditumpuk didalam kardus di Caracas, Venezuela (15/12). Mata uang lokal yang bernama Panal ini diluncurkan di lingkungan kelas pekerja "23 de Enero". (AFP Photo/Federico Parra)

Menurut laporan International Monetary Fund (Dana Moneter Internasional, IMF), inflasi Venezuela diproyeksikan menyentuh satu juta persen pada akhir 2018. 

IMF menyebut, pemerintahan Venezuela akan terus mengandalkan ekspansi basis keuangan (monetary base), yang justru mempercepat inflasi sebagaimana permintaan uang yang terus merosot. Tak aneh bila muncul kabar-kabar uang Venezuela, bolivar, ditemukan di tong sampah atau dijadikan tas, karena nilai mata uang di sana sudah jatuh.

Venezuela memang terlalu bergantung pada ekspor minyak, serta tidak ada diversifikasi pada perindustriannya. Jadinya, saat harga minyak jatuh, otomatis ekonomi Venezuela langsung kocar-kacir. Presiden Venezuela Nicolas Maduro pun hanya bisa menyalahkan pihak-pihak lain, seperti Amerika Serikat (AS), Portugal, dan Kolombia, atas krisis di negaranya.

Lebih lanjut, IMF menyebut apa yang dialami Venezuela persis seperti di Jerman pada 1923. "Situasi di Venezuela serupa dengan di Jerman pada 1923 atau Zimbabwe pada akhir 2000."

Krisis yang terjadi di Venezuela juga memberi efek pada negara-negara tetangga. Pasalnya, banyak penduduk Venezuela yang memilih bermigrasi ke negara-negara terdekat, seperti Kolombia.

Tidak hanya manusia yang kena dampak, hewan di kebun binatang menjadi kurus kering, dan tanaman di kebun raya juga layu karena masalah ekonomi di Venezuela

"Runtuhnya aktivitas ekonomi, hiperinflasi, dan menambah buruknya ketersediaan kebutuhan publik (layanan kesehaatan, listrik, air, transportasi, dan keamanan) begitu pula kurangnya makanan di harga subsisdi telah menimbulkan derasnya migrasi, yang memberikan efek luapan (spillover effect) ke negara-negara tentangga," tulis IMF.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya