Pasca-Terpilih Kembali sebagai Presiden Venezuela, Maduro Usir 2 Diplomat AS

Setidaknya, 14 negara termasuk di antaranya Argentina, Brasil, dan Kanada telah menarik duta besar mereka Caracas sebagai bentuk protes atas pilpres Venezuela.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 23 Mei 2018, 10:04 WIB
Diterbitkan 23 Mei 2018, 10:04 WIB
Presiden Venezuela Nicolas Maduro dan istrinya Cilia Flores
Presiden Venezuela Nicolas Maduro dan istrinya Cilia Flores (AFP Photo/Federico Parra)

Liputan6.com, Caracas - Venezuela telah mengusir perwakilan senior Amerika Serikat di negara itu di tengah reaksi internasional pasca-terpilihnya kembali Nicolas Maduro sebagai presiden.

Dalam pidatonya di Caracas pada hari Selasa, Maduro mengumumkan bahwa kuasa usaha, Todd Robinson, dan kepala bagian politik Kedutaan Besar Amerika Serikat, Brian Naranjo, berstatus Persona Non Grata. Seperti dikutip dari CNN pada Rabu (24/5/2018), Maduro menuding mereka ikut campur dalam pemilu Venezuela.

Namun, tuduhan tersebut telah dibantah oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat.

Negeri Paman Sam sendiri belum memiliki duta besar untuk Venezuela sejak tahun 2010.

Menurut Maduro, pengusiran dua diplomat Amerika Serikat itu untuk "membela martabat tanah air". Ucapannya itu disambut tepuk tangan meriah dari massa pendukungnya.

Lebih lanjut Maduro mengatakan bahwa dua diplomat Amerika Serikat tersebut memiliki waktu 48 jam untuk meninggalkan Venezuela.

Maduro kembali memenangkan masa enam tahun lainnya dalam pemilu presiden yang berlangsung pada hari Minggu, 20 Mei lalu. Pemilu banyak menuai cibiran dari kelompok oposisi dan komunitas internasional.

Wakil Presiden Amerika Serikat, Mike Pence, menegaskan bahwa pilpres Venezuela adalah "sebuah tipuan". Gedung Putih pun mengumumkan serangkaian sanksi baru yang menargetkan pemerintah Venezuela.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Reaksi Pasca-Terpilihnya Kembali Maduro

Unjuk-Rasa-di-Venezuala
Seorang dokter memakai masker saat unjuk rasa menuntut Presiden Venezuela Nicolas Maduro karena memburuknya ekonomi dan kondisi kemanusiaan di Caracas, Venezuela, (22/5). Sedikitnya 46 orang telah meninggal dunia. (AP Photo/Ariana Cubillos)

Pilpres Venezuela diboikot oleh pihak oposisi. Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah menandatangani sebuah perintah eksekutif untuk membatasi kemampuan pemerintah Venezuela menjual aset negara.

Lewat sebuah pernyataan, Trump menyatakan, "Kami menyerukan rezim Maduro untuk memulihkan demokrasi, mengadakan pemilu yang bebas dan adil, membebaskan seluruh tahanan politik segera dan tanpa syarat, serta mengakhiri penindasan dan perampasan ekonomi rakyat Venezuela."

Reaksi keras turut ditunjukkan oleh sejumlah negara. Setidaknya, 14 negara termasuk di antaranya Argentina, Brasil, dan Kanada telah menarik duta besar mereka Caracas sebagai bentuk protes.

Maduro dilaporkan memenangkan pilpres dengan perolehan 68 persen dari total suara, sementara kandidat oposisi utama, Henri Falcon, hanya meraih 21,2 persen suara. Hasil tersebut ditolak kubu oposisi, yang menyerukan diadakannya pemilihan ulang. Demikian seperti dikutip dari BBC.

Bahkan sebelum pemilu berlangsung, Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa dan sejumlah negara Amerika Latin lainnya telah menegaskan bahwa mereka tidak akan mengakui hasil pemungutan suara.

Meski demikian, beberapa negara lainnya seperti Rusia, El Salvador, Kuba, dan China memberikan selamat atas kemenangan Maduro.

Kehidupan rakyat Venezuela memburuk sejak pergantian rezim dari mendiang Presiden Hugo Chavez ke Maduro, yang saat itu menjabat sebagai wakilnya. Negeri yang dulunya tergolong salah satu negara kaya di Amerika Latin berkat minyak tersebut, kini terpuruk dengan inflasi super tinggi.

Krisis yang pada akhirnya membuat Maduro pada tahun 2016 menyatakan status "darurat ekonomi" bersumber dari jatuhnya harga minyak, anjloknya nilai tukar mata uang, perebutan kekuasaan, serta potensi kekurangan pangan yang berkelanjutan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya