Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani yakin krisis yang tengah menimpa Turki tidak akan terjadi di Indonesia. Meski saat ini nilai tukar rupiah tengah mengalami pelemahan.
Menurut dia, pelemahan rupiah yang terjadi belakangan ini memang menyulitkan pengusaha. Salah satunya karena bahan baku dan barang modal untuk kegiatan industri masih didominasi dari impor.
"Kita menyadari sekali, Indonesia lebih penting dari pada rupiah. Karena kita di dunia usaha sangat mengerti bahwa kalau pergerakan mata uang kita ini melemahnya terjadi terus menerus yang repot ya dunia usaha. Karena tidak bisa dipungkiri raw material kita 70 persen itu dari impor," ujar dia di Hotel Westin, Jakarta, Rabu (15/8/2018).
Advertisement
Namun demikian, lanjut Rosan, apa yang menimpa Turki hingga membuat mata uangnya yaitu Lira anjlok diyakini tidak akan terjadi di Indonesia. Sebab selama ini data statistik terkait perekonomian Indonesia masih dalam kondisi yang baik.
"Perekonomian kita baik, angka statistiknya sehat. Cuma Turki memang lagi ada problem. Tapi sangat jauh lah kita kalau dibandingkan Turki," kata dia.
Untuk membantu memperbaiki keadaan dan membuat rupiah kembali stabil, lanjut Rosan, pengusaha akan diminta kesediaannya untuk lebih banyak memasukan devisa hasil ekspornya (DHE) ke dalam negeri. Selain itu, DHE tersebut juga harus ditukarkan dalam rupiah.
"Kita sepakat kita usahakan sampai 100 persen bawa DHE kita, dan memang sudah ada teman-teman pengusaha kita baik di komoditas seperti di batubara itu membawa dananya ke Indonesia. Ada yang sudah 75 persen, 50 persen," tandas dia.
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Â
Â
BI Waspadai Dampak Krisis Turki
Bank Indonesia (BI) menilai saat ini ketidakpastian ekonomi global meningkat di tengah dinamika pertumbuhan ekonomi dunia yang tidak merata.Â
Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, ketidakpastian ekonomi global semakin tinggi dengan munculnya risiko rambatan dari gejolak ekonomi di Turki.
"Gejolak ekonomi Turki disebabkan oleh kerentanan ekonomi domestik, persepsi negatif terhadap kebijakan otoritas, serta meningkatnya ketegangan hubungan Turki dengan AS," kata Perry, di kantornya, Rabu (15/8/2018).
Baca Juga
Perry menegaskan, BI akan mewaspadai gejolak yang sedang terjadi di Turki dan faktor eksternal lainnya.
"Termasuk kemungkinan dampak rambatan dari Turki, meskipun diyakini bahwa ketahanan ekonomi Indonesia cukup kuat didukung oleh indikator fundamental ekonomi yang sehat dan komitmen kebijakan yang kuat," ujar dia.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi dunia masih tidak merata. Ekonomi AS diperkirakan tetap tumbuh kuat didukung akselerasi konsumsi dan investasi. Sementara itu, ekonomi Eropa, Jepang dan Tiongkok masih cenderung menurun.Â
Dengan perkembangan tersebut, the Federal Reserve atau bank sentral Amerika Serikat (AS) diprediksi tetap melanjutkan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) secara bertahap. Sementara European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan ( BOJ) cenderung masih menahan kenaikan suku bunga.
"Di samping kenaikan suku bunga FFR, meningkatnya ketidakpastian ekonomi global dipicu oleh ketegangan perdagangan antara AS dan sejumlah negara, yang mendorong kebijakan balasan yang lebih luas, termasuk melalui pelemahan mata uang di tengah berlanjutnya penguatan dolar AS secara global," kata Perry.
Â
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Â
Â
Â
Â
Advertisement