Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar rupiah mulai terangkat dari pelemahannya. Pada Rabu (12/9/2018), rupiah di buka di level Rp 14.847 per Dolar Amerika Serikat (AS).
Mengutip data Bloomberg, rupiah menguat tipis dari penutupan sebelumnya di level 14.857 per Dolar AS. Saat ini, mata uang Garuda berada pada posisi 14.850 per Dolar AS.
Baca Juga
Sebelumnya, Kepala Departemen Internasional Bank Indonesia, Doddy Zulverdi meminta masyarakat agar lebih bijak dalam menanggapi depresiasi atau pelemahan nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS.
Advertisement
Menurut dia, yang harus diperhatikan adalah pergerakan pelemahan atau fluktuasi nilai tukar terhadap USD bukan hanya memerhatikan besaran nilai nominal Rupiah per USD.
"Di Australia, Korea, Malaysia, Thailand, nilai tukar bergerak itu nyaris tidak pernah jadi berita besar, kecuali perubahannya sangat cepat," kata dia, Senin (10/9/2018).
Kesalahan berbagai pihak saat ini adalah melihat nilai tukar mata uang sebagai angka psikologis. Padahal, nilai tukar mata uang seharusnya yang dilihat pergerakan angkanya itu sendiri.
"Orang tidak melihatnya (nilai tukar) sebagai angka psikologis, tapi seberapa cepat bergeraknya. Jika angka bergerak hanya 8 seperti saat ini dibandingkan semisal naik dari level Rp 2.500 sampai ke Rp 15.000, ya jelas berbeda, itu sangat jauh kenaikannya," jelas Dodi.
Dia pun menegaskan bahwa nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika sebesar Rp 15.000 yang terjadi saat ini sangat berbeda dengan nilai tukar yang sama yang terjadi pada krisis tahun 1998. Maka itu, kedua hal tersebut tidak bisa disamakan secara serta merta.
Reporter: Siti Nur Azzura
Sumber: Merdeka.com
Rupiah Melemah, Produsen Elektronik Siasati agar Harga Produk Tak Naik
Produsen ponsel dalam negeri turut terkena imbas dari pelemahan nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu terakhir. Namun demikian, sebagian besar produsen telah memiliki strategi agar harga jual ponselnya tidak naik, namun tetap mendapatkan keuntungan.
Ketua Umum Gabungan Elektronik Indonesia (Gabel) Ali Subroto mengatakan, pelemahan rupiah memang sangat terasa dampaknya kepada produsen elektronik, khususnya ponsel. Sebab, sebagian komponen masih harus diimpor dari negara lain.
"Karena menggunakan komponen impor, itu tergantung dolar, maka akan meningkatkan biaya produksi. Jadi kalau rupiah melemah, biaya produksi meningkat," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Rabu (12/9/2018).
Namun demikian, lanjut dia, hal seperti ini bukan pertama kali terjadi. Oleh sebab itu, para produsen telah memiliki strategi sendiri dalam menghadapi depresiasi rupiah ini.
"Tapi ini bukan pertama kali, sejak dulu sudah sering mengalami hal ini. Jadi otomatis idealnya dibebankan kepada pasar, tapi masalahnya pasar belum tentu bisa terima. Jadi tergantung model bisnisnya (dari produsen)," jelas dia.
Ali menyatakan, jika ingin mendapatkan pangsa pasar lebih besar, biasanya produsen lebih memilih untuk mengurangi keuntungan dengan tidak menaikkan harga jual produknya. Namun jika ada juga produsen yang mengeluarkan model baru untuk dengan harga baru yang lebih mahal.
"Kalau masih punya stok lama banyak, dia masih bisa jual dengan harga lama. Atau kalau dia mau mengambil pangsa pasar, dia korbankan (keuntungan) untuk mengambil pangsa pasar. Tapi biasanya pada periode tertentu dia akan menaikkan harga sebagian. Atau kalau ada dia model baru, dia keluarkan dengan harga baru," tandas dia.
Advertisement