Pastikan Pelaksanaan Program B20, Darmin Panggil Dirut Pertamina

Pemerintah membuka kemungkinan Pertamina dapat bekerja sama dengan penyalur Fatty Acid Methyl Ester (FAME) atau minyak sawit.

oleh Merdeka.com diperbarui 26 Sep 2018, 20:52 WIB
Diterbitkan 26 Sep 2018, 20:52 WIB
Menko Bidang Perekonomian, Darmin Nasution (Dok Foto: Kemenko Bidang Perekonomian)
Menko Bidang Perekonomian, Darmin Nasution (Dok Foto: Kemenko Bidang Perekonomian)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution memanggil Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati untuk membahas mengenai evaluasi penerapan biodiesel 20 persen (B20) sejak diterapkan pada 1 September.

Selain itu, pertemuan tersebut juga membahas hambatan Pertamina dalam menyalurkan B20. "Mengevaluasi B20 dari Pertamina. Ya pada dasarnya supaya enggak ada lagi yang terlambat. Supaya ya semua menjadi optimum," ujar Menko Darmin di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (26/9/2018).

Darmin mengatakan, pemerintah membuka kemungkinan Pertamina dapat bekerja sama dengan penyalur Fatty Acid Methyl Ester (FAME) atau minyak sawit. Sehingga, ke depan tidak terjadi keterlambatan dalam penyaluran FAME ke daerah.

"Ya sebetulnya dari penghasilkan FAME mengusulkan itu, boleh. Kalau memang seperti itu," jelas Menko Darmin.

Sementara itu, Dirut Pertamina Nicke Widyawati mengatakan keterlambatan suplai FAME ditengarai oleh kesulitan dalam memenuhi ketersediaan kapal dalam menjangkau daerah tujuan.

Meski demikian, dia mengatakan hal-hal seperti ini wajar terjadi pada awal penerapan suatu kebijakan.

"Sebetulnya ada beberapa hal, misalnya keterlambatan suplai FAME, kesulitan mencari kapal, tapi menurut saya sih di awal ini masalah-masalah seperti ini maklum saja terjadi. Yang paling penting, nanti setelah ini kita bagaimana, cari jalan keluar yang optimal," tutur dia.

"Misalnya ketika menentukan rute, kapalnya kalau terlalu kecil mungkin nanti bisa digabung dengan kapal kargonya Pertamina. Intinya kita semua kerja sama supaya B20 terimplementasi dengan baik," lanjut dia.

Lebih lanjut, Nicke mengatakan, pihaknya juga menerima kebijakan pemerintah terkait pengenaan denda sebesar Rp 6.000 per liter terhadap Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BU BBM) dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) yang belum juga berpartisipasi dalam penyaluran B20.

"Ya menurut saya sih tidak apa, mau diberlakukan pun tidak apa, aturan soal dendanya kan sudah ada. Lalu bagaimana cara menjalankannya, ya tidak apa jalankan saja agar semuanya kemudian menjadi lebih semangat untuk menjalankan perbaikan," jelasnya.

 

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Pemerintah Diminta Konsisten Terapkan Kebijakan B20

(Foto:Liputan6.com/Ilyas I)
Peluncuran perluasan penerapan Biodiesel 20 persen (Foto:Liputan6.com/Ilyas I)

Kebijakan pemerintah terkait pencampuran minyak sawit atau CPO ke Solar sebesar 20 persen (B20) diharapkan tidak hanya demi kepentingan industri sawit dalam negeri. Kebijakan ini juga harus memperhatikan soal ketahanan energi nasional yang juga menjadi masalah serius ke depan.

Pengamat Energi Marwan Batubara mengatakan, dasar pemerintah menerapkan kebijakan ini memang dalam rangka menekan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Namun dia khawatir jika kebijakan tersebut sebenarnya hanya demi menyelamatkan industri CPO dan mengabaikan masalah ketahanan energi nasional.

"Soal B20, hingga akhir tahun ada 2,5 juta kiloliter (kl) biodisel yang dicampur dengan Solar, itu bisa hemat devisa USD 1 miliar. Tahun depan 5-6 juta kl dan hemat USD 3 miliar-USD 3,5 miliar. Ini memang menolong, tapi harus konsisten. Jangan sampai ini hanya untuk menolong industri CPO," ujar dia dalam diskusi Menyoalkan Kebijakan Energi Nasional di Jakarta, Rabu (26/9/2018).

Saat ini industri CPO memang tengah menghadapi sejumlah tantangan. Mulai dari harga jual yang turun hingga kampanye negatif yang dilakukan oleh sejumlah negara.

‎"Ini di 2015-2016 pemerintah juga gencar soal CPO. Karena harga CPO saat itu sedang turun. Waktu itu turun ke USD 400 per ton, dari biasanya USD 700. Sekarang permintaan turun, masalah boikot oleh Eropa, kemudian India terapkan pajak masuk, sehingga permintaan kita turun," ungkap dia.

Oleh sebab itu, lanjut dia, penerapan kebijakan ini harus dilakukan secara konsisten. Jangan kebijakan ini diberlakukan ketika harga CPO turun, sedangkan ketika harga tinggi, kebijakan tersebut dilupakan dan menjadi masalah baru bagi ketahanan energi nasional.

"Di industri ini, 30 persen pemilik industri sawit dari asing seperti Singapura, kemudian para pengusaha besar. Sedangkan petani hanya 3 persen. Jadi jangan hanya untuk industri sawit semata dan ujungnya ketahanan energi jadi terganggu," tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya