Liputan6.com, Washington D.C. - Meski pengangguran turun, defisit anggaran Amerika Serikat (AS) sentuh level tertinggi sejak 2012. Pemotongan pajak yang tidak diimbangi dengan efisiensi pengeluaran ditenggarai sebagai penyebabnya.
Dilaporkan Wall Street Journal, Selasa (16/10/2018), defisit anggaran pada tahun fiskal AS yang berakhir 30 September lalu adalah USD 779 miliar atau setara 11.839 triliun (USD 1 = Rp 15.198). Tahun fiskal sebelumnya, defisit senilai USD 666 miliar (Rp 10.121 triliun).
Advertisement
Baca Juga
Pada tahun ini, pihak Gedung Putih menyebut defisit akan mencapa USD 1 triliun. Partai Demokrat AS menuding kebijakan pemotongan pajak Trump menyebabkan defisit bertambah, sementara pihak pemerintah menyebut defisit berasal dari terlalu banyak pengeluaran.
"Defisit ini lebih tinggi dari yang diinginkan siapapun," ucap Kevin Hassett, Ketua Dewan Penasihat Ekonomi. Dia menambahkan, langkah agresif perlu dilakukan untuk memotong anggaran federal.
Pengangguran di era Trump berhasil turun di bawah 4 persen namun defisit anggaran meningkat sampai 3,9 persen dari GDP. Ini berbeda dari situasi tahun 2000 saat pengangguran di AS juga di bawah 4 persen, tetapi anggaran surplus 2,3 persen dari GDP. Begitu juga pada 1969 ketika pengangguran 3,7 persen, dan anggaran tetap surplus.
Beberapa pengeluaran besar di Pemerintahan Trump adalah pada program militer dan jaminan sosial yang masing-masing naik sebanyak 6 persen dan 4 persen. Sementara, pemangkasan triliunan dolar pengeluaran menimpa program stempel jatah makanan (food stamps), program penyandang disabilitas, kesejahteraan, dan pinjaman mahasiswa
Pengeluaran pemerintah dibanding GDP memang berkurang, tetapi pendapatan pemerintah juga jatuh dari 17,2 persen dari GDP menjadi 16,5 persen. Pajak individual dikurang di era Trump, dan pajak korporasi turut dikurangi secara signifikan dari 35 persen menjadi 21 persen, dan itu berefek pada defisit anggaran.
Gedung Putih menyebut bahwa pemotongan pajak akan memberikan dampak jangka panjang berupa pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, sehingga akhirnya memberi pemasukan pajak lebih besar.
Indonesia Great Again, Demokrat: Prabowo Ingin Kita Kembali Jadi Macan Asia
Presiden Donald Trump ternyata memberikan pengaruh pada calon presiden Prabowo Subianto. Ia pun menyebut ingin agar Indonesia berjaya kembali, perkataan yang mirip dengan slogan Trump.
Kadiv Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean, menjelaskan pernyataan 'Make Indonesia Great Again' dilontarkan Capres Prabowo Subianto. Menurut dia, pernyataan itu merujuk pada keinginan Prabowo untuk mengembalikan keperkasaan NKRI yang tertidur sebagai Macan Asia.
"Memang apa yang disampaikan Pak Prabowo itu harus membuat Indonesia Great Again, karena dulu Indonesia ini pernah ditakuti Asia, pergaulan internasional. dan itu sekarang hilang,”. kata Ferdinand usai sebuah diskusi di Jakarta Selatan, Jumat, 12 Oktober 2018.
Ferdinand melihat, selama zaman Presiden Soeharto dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia di mata internasional terasa sangat garang. Tak seperti era kepemimpinan sekarang, dinilainya Indonesia sangat tak bertaji di dunia.
"Mungkin karena keterbatasan dan kapabilitas Pak Jokowi di dunia internasional. Bayangkan di zaman Pak Soeharto, di zaman Pak SBY, kita tidak pernah ketinggalan di isu global sehingga ini harus dikembalikan dan ditingkatkan arahnya ke sana,” jelas politisi Demokrat ini.
Menurut Ferdinand, tidak ada yang salah dari cara Prabowo meniru slogan yang populer oleh Donald Trump tersebut. Terlebih, dia menegaskan Prabowo hanya meniru hal yang baik-baik dan tidak untuk soal arogansi Trump.
"Jadi arahnya bukan untuk menjiplak nggak karu-karuan, baik itu boleh kita tiru, itu bagus,” Ferdinand menandasi.
Advertisement