Tarif Tak Naik, Penyederhanaan Cukai Rokok Diminta Tetap Berlanjut

Pengusaha awalnya memperkirakan tarif cukai rokok akan naik pada 2019.

oleh Nurmayanti diperbarui 09 Nov 2018, 17:14 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2018, 17:14 WIB
20160930- Ilustrasi cukai.
Ilustrasi cukai. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Keputusan pemerintah tidak menaikkan tarif cukai rokok pada tahun depan menuai respon positif dari pengusaha di industri hasil tembakau (IHT) di Malang, Jawa Timur.

Namun seiring tetapnya tarif cukai ini, pemerintah diminta tetap menerapkan kebijakan simplikasi cukai rokok.

“Ini bagus cukai tidak naik,” kata Anggota Dewan Penasihat Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Andriono Bing Pratikno.

Andriono mengaku jika awalnya memperkirakan tarif cukai rokok akan naik pada 2019. Ini karena pemerintah menaikkan anggaran belanja negara menjadi Rp 2.461,1 triliun.

Dengan kenaikan anggaran belanja, pemerintah membutuhkan tambahan pendapatan. Selain itu, target penerimaan cukai rokok naik dari Rp 148,2 triliun menjadi 158,8 triliun.

“Ini kan positif juga bagi daya beli masyarakat kita, APBN tahun 2019 sudah dinaikkan,” kata Andriono.

Meski kemudian, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengumumkan jika pemerintah tidak akan menaikkan tarif cukai pada 2019.

Seiring ini, pemerintah juga menunda kebijakan simplifikasi tarif cukai rokok. Rencananya, kebijakan simplifikasi berjalan sampai 2021.

Dia pun menyayangkan pemerintah lanngkah yang tidak meneruskan kebijakan simplifikasi. Dengan begitu, rencana penggabungan Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret Putih Mesin ke dalam satu tarif pun tertunda.

Secara tarif cukai per batang, sebenarnya perbedaaan antara SKM dan SPM untuk golongan I juga tidak terlalu berbeda jauh.

“SKM dan SPM sebenarnya ini sama saja dibuat dari mesin, bedanya SPM tidak ada cengkeh. SKM golongan I Rp 590 per batang dan SPM golongan I Rp 625 per batang, supaya lebih simpel dijadikan satu tarif,” tegas dia.

Ketua Formasi Heri Susianto menambahkan penundaan penggabungan volume produksi SKM dan SPM sebanyak tiga miliar batang akan memberikan keleluasaan kepada pabrikan rokok besar multinasional untuk menikmati tarif cukai pada golongan yang rendah.

“Karena itulah mestinya pemerintah tidak ragu-ragu dalam melakukan penyederhanaan layer tarif cukai,” ujarnya.

Pelaku Industri Tembakau Dukung Keputusan Cukai Tak Naik

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) menyambut baik keputusan pemerintah atas  tarif cukai tidak naik pada 2019. Sebab keputusan tersebut akan berdampak positif pada kebe‎rlangsungan industri tembakau.

Direktur Corporate Affairs and Communication Japan Tobacco International di Indonesia, Fajar Utomo, mengatakan keputusan tidak ada kenaikan cukai rokok, menunjukkan pemerintah menimbang matang dan mendengar masukan dari berbagai pihak.

"Pemerintah pasti menimbang berbagai aspek seperti pengendalian, penerimaan negara, keberlangsungan industri dan tenaga kerja, tidak kalah penting mengatasi peredaran rokok ilegal" kata Fajar, di Jakarta, Selasa (7/11/2018).

Fajar menuturkan, pelaku industri‎ hasil tembakau mengapresiasi keputusan pemerintah, termasuk pemberian kelonggaran batas produksi untuk jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT). "Perubahan batasan penggolongan semestinya dapat dilihat dari lingkup yang lebih luas,” ujar dia.

Fajar mengungkapkan, ‎saat ini industri SKT sedang menurun, sehingga diperlukan serangkaian insentif dari pemerintah untuk mendukung keberlangsungan industri SKT yang merupakan penyerap tenaga kerja terbanyak di IHT‎.

"Insentif ini tentunya bukan hanya berdampak bagi satu perusahaan saja, namun semua perusahaan yang berada dalam golongan kecil dan menengah tersebut,” ujar dia.

Sementara Ketua Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, memandang keputusan pemerintah tersebut justru tidak berpihak kepada kepentingan konsumen. Dia menuturkan, kebijakan itu justru bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang ada.

"Ini kebijakan yang antiklimaks, karena negara artinya abai terhadap perlindungan konsumen, baik yang sudah atau calon perokok," tutur dia.

Tulus menambahkan, beban cukai rokok yang ada selama ini dibebankan kepada konsumen bukan kepada industri. Oleh sebab itu, kebijakan ini menurut dia hanya menunjukan keberpihakan pada industri rokok. Keputusan ini, lanjut dia, juga akan meningkatkan populasi penyakit tidak menular yang salah satunya disebabkan oleh rokok. 

"Prevalensi penyakit tidak menular seperti stroke, gagal ginjal, disebabkan salah satunya oleh rokok. Kalau cukai tidak naik,maka pemerintah mendorong agar prevalensi penyakit tidak menular ini terus meningkat," ujar dia. 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya