Liputan6.com, Jakarta Kurs atau nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat hingga saat ini terus menguat. Terhitung pada Jumat 16 November 2018 lalu, rupiah berada pada kisaran 14.571 per Dolar AS atau menguat 93,50 poin atau 0,64 persen.
Menanggapi penguatan rupiah ini, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menyebutkan, ada beberapa indikator dalam dan luar negeri yang membuat mata uang Garuda tetap perkasa.
Advertisement
Baca Juga
Poin pertama, yakni aksi Bank Indonesia (BI) yang sigap menaikan suku bunga acuan menjadi 6 persen.
"Kebijakan BI naikan Suku bunga acuan 25 bps (basis point) jadi 6 persen diapresiasi pasar. Itu menunjukan bahwa BI sangat pre emptives terhadap rencana naiknya Fade rate bulan Desember nanti," terang dia kepada Liputan6.com, Senin (19/11/2018).
Seperti diketahui, bank sentral negara ini memutuskan untuk menaikan BI-7 Day Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 6 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) 14-15 November 2018. Tercatat, sepanjang tahun ini, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 175 bps.
Adapun indikator luar yang turut menyebabkan nilai tukar rupiah menguat, Bhima melanjutkan, yakni penurunan harga minyak dunia menjadi USD 70 per barel.
"Dari faktor global adalah tren penurunan harga minyak dibawah USD 70 per barel untuk acuan Brent. Bagi Indonesia yang mengandalkan impor minyak, ini kabar gembira karena inflasi bisa ditekan," sebut dia.
Faktor global lain yang membuat rupiah makin perkasa, lanjut dia, ialah keputusan beberapa pejabat Inggris termasuk Menteri British Exit (Brexit) Dominic Raab yang mengundurkan diri dari anggota parlemen.
Kejadian ini secara tak langsung menurutnya akan turut mendorong investor Eropa kembali bergairah untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
"Proses Brexit dengan mundurnya beberapa menteri kabinet Theresa May Juga positif untuk rupiah. Dana asing dari Eropa kembali masuk ke Indonesia," pungkas Bhima.
Ekonom Usul BI Tahan Suku Bunga Acuan 6 Persen pada Desember 2018
Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan BI 7- Day Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan sebesar 25 basis point (bps) menjadi enam persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) 14-15 November 2018.
Tercatat, hingga sepanjang 2018, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 175 bps. Di sisi lain, Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) diperkirakan kembali menaikkan suku bunga acuan lagi pada Desember, lalu apakah BI akan mengerek suku bunganya lagi?
Ekonom PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat menilai, sebaiknya bank sentral tidak perlu menaikan suku bunga acuannya kembali. Sekalipun The Fed menaikan, dirinya menyarankan BI untuk menahan suku bunga acuannya di level enam persen.
Baca Juga
"Kita punya pelajaran pada 2017 ketika Fed rate naik, BI tidak perlu naikkan karena saat itu kredit lagi melambat. Lalu, kita menikmati inflow," ujar dia.
Budi menjelaskan, alasan BI tidak perlu menaikkan suku bunga karena diperkirakan arus dana kembali ke negara berkembang pada 2019. Kemudian dipilihlah mana yang lebih baik.
"Katakanlah bank sentralnya lebih prudent dan lain-lain. Tentunya overall yang bikin semua mata uang itu current account deficit (CAD)" kata dia.
Oleh karena itu, dirinya meminta agar BI fokus terhadap pengendalian CAD atau defisit transaksi berjalan. Sehingga, seperti acuan normatifnya, suku bunga harus positif. "Turki itu pernah inflasi, bank sentralnya tidak mau naikkan suku bunga. Itu langsung dihukum dengan mata uangnya yang jatuh," ujar dia.
Â
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber:Â Merdeka.com
Advertisement