Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengklaim industri perbankan mampu menghindari era suku bunga tinggi karena perbankan mampu menipiskan biaya operasional dan cenderung memiliki likuiditas yang memadai.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, industri perbankan mampu mengendalikan bunga meskipun Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan hingga 175 basis poin dalam enam bulan terakhir.
"Masih terukur, bank masih bisa tingkatkan efisiensi (operasional), sehingga kenaikan suku bunga (Bank Indonesia) tidak langsung ditransmisikan ke suku bunga bank," kata Wimboh dalam perayaan ulang tahun OJK ke-7, seperti dikutip dari Antara, Minggu (25/11/2018).
Advertisement
Baca Juga
Wimboh juga memandang industri perbankan masih menyalurkan kredit kepada nasabah secara terukur sesuai Rencana Bisnis Bank (RBB) di tengah kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral.
Jika melihat Rencana Bisnis Bank (RBB) yang disusun awal tahun ini, industri perbankan menargetkan pertumbuhan kredit di 12,2 persen. Namun, dalam pernyataan terakhirnya Oktober 2018 lalu, Wimboh melihat agresivitas perbankan dalam menyalurkan kredit selama Januari-Oktober 2018 bisa membuat pertumbuhan kredit di akhir tahun mencapai 13 persen.
"Pertumbuhan kredit bisa 13 persen akhir 2018. Itu melebihi target yang 10 sampai 12 persen," ujar Wimboh saat itu.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ada Relaksasi
Direktur Keuangan dan Treasuri PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) Iman Nugorho Soeko mengatakan, potensi pengetatan likuiditas di akhir tahun bisa berkurang karena kebijakan relaksasi perhitungan rata-rata Giro Wajib Minimum Primer (GWM Averaging) yang ditingkatkan menjadi tiga persen dari dua persen.
Namun peningkatan GWM Averaging hanya memberikan bank ruang fleksibilitas dalam mengelola likuiditas harian. Dengan begitu, bukan berarti, bank memperoleh tambahan likuiditas dari relaksasi GWM Averaging itu karena rasio untuk memenuhi kewajiban GWM-Primer tetap dipertahankan BI di level 6,5 persen dari total Dana Pihak Ketiga (DPK).
"Tapi karena agregat GWM tetap di 6,5 persen artinya tidak ada tambahan likuiditas yang bisa disalurkan untuk menunjang lebih tingginya pertumbuhan kredit," ujar Iman.
Advertisement