Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta untuk mewaspadai bunga utang yang semakin besar. Hal ini dinilai akan menjadi beban berat bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan, saat ini pembiayaan utang Indonesia masih rentan terkena resiko kenaikan bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS), serta fluktuasi kurs rupiah.
"Implikasi dari porsi SBN (surat berharga negara) yang dominan membuat pemerintah harus membayar bunga lebih mahal, dengan bunga 8,1 persen untuk tenor 10 tahun. Bunga surat utang Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di Asia," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Kamis (24/1/2019).
Advertisement
Baca Juga
Efek lainnya, lanjut Bhima, realisasi pembayaran bunga utang pada 2018 tembus di atas 108,2 persen dari target. Sedangkan total realisasi bunga utang 2018 sebesar Rp 258,1 triliun.
"Ini menunjukkan kenaikan bunga utang akan menjadi beban bagi APBN," kata dia.
Sementara untuk 2019, beban bunga utang akan terus mengalami peningkatan. Menurut Bhima, pada tahun ini, bunga utang akan menembus Rp 275 triliun.
"Untuk tahun 2019 diperkirakan bunga utang akan mengalami pembengkakan hingga Rp 267 triliun-Rp 275 triliun," tandas dia.
Utang Pemerintah Tembus Rp 4.418 Triliun
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah pusat sepanjang 2018 sebesar Rp 4.418,3 triliun.
Angka ini naik jika dibandingkan dengan posisi utang pada 2017 yaitu sebesar Rp 3.995,25 triliun.
Mengutip data APBN Kita edisi Januari 2019, utang tahun lalu berasal dari pinjaman dan penerbitan surat berharga. Pinjaman sebesar Rp 805,62 triliun dan penerbitan surat berharga sebesar Rp 3.612,69 triliun.
"Pengelolaan utang yang pruden dan akuntabel di tengah kondisi pasar 2018 yang volatile. Rasio utang Pemerintah terkendali, sebesar 29,98 persen terhadap PDB," demikian ditulis Kemenkeu, Jakarta, Selasa 22 Januari 2019.
Masih sumber yang sama, pinjaman berasal dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 799,04 terdiri dari bilateral Rp 330,95 triliun, multilateral Rp 425,49 triliun dan komersial Rp 42,60 triliun. Sementara itu, pinjaman dalam negeri sebesar Rp 6,57 triliun.
Dari Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah menarik utang sebesar Rp 3.612,69 triliun. Dalam denominasi Rupiah sebesar Rp 2.601,63 triliun terdiri dari surat utang negara Rp 2.168,01 triliun dan surat berharga syari’ah negara Rp 433,63 triliun.
"Denominasi valas sebesar Rp 1.011,05 triliun, surat utang negara Rp 799,63 triliun dan surat berharga syari’ah negara sebesar Rp 211,42 triliun," tulis Kemenkeu.
Sepanjang 2018, pengelolaan pembiayaan utang semakin membaik. Hal tersebut ditunjukkan dengan realisasi utang yang hingga akhir 2018 semakin menurun baik untuk Surat Berharga Negara (Neto) maupun untuk Pinjaman (Neto) serta diluncurkannya program dan format baru pembiayaan.
"Salah satu program pembiayaan yang diluncurkan Pemerintah pada 2018 adalah penerbitan Green Global Sukuk di bulan Februari 2018. Green Global Sukuk merupakan program pembiayaan untuk mendukung pelestarian lingkungan hidup," tulis Kemenkeu.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement