Penjelasan Ditjen Pajak soal Tax Ratio Indonesia Masih Kalah Ketimbang Malaysia

Pemerintah dalam perhitungannya pun sudah mulai memasukkan komponen PNBP, SDA, migas, dan pertambangan masuk dalam perhitungan rasio pajak.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Mar 2019, 18:21 WIB
Diterbitkan 14 Mar 2019, 18:21 WIB
Pajak
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memaparkan penjelasan mengenai penyebab rasio pajak atau tax ratio Indonesia masih 10,3 persen.

Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak, Yon Arsal menyatakan, penyebab rasio pajak Indonesia tertinggal dibandingkan Malaysia. Diketahui, per 2018, tax rasio atau rasio pajak sebesar 10,3 persen, sedangkan Malaysia sekitar 15 persen.

"Kalau Indonesia, perlu hati-hati menjelaskan, saya mungkin klarifikasi, tax rasio itu mulai dari artian yang sempit, setengah luas, dan luas," kata dia dalam seminar, di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Kamis (14/3/2019).

"Yang saya ingin katakan adalah kalau kita ingin bandingkan tax rasio dengan negara lain secara comparable kita harus memasukkan komponen unsur yang sama," lanjut dia.

Yon menyebut, rasio pajak Indonesia yang sekarang sebesar 10,3 persen belum memasukkan semua komponen yang merupakan potensi pajak. Angka tersebut baru merupakan hasil dari total penerimaan perpajakan dalam hal ini pajak dan bea cukai dibagi dengan Produk Domestik Bruto (PDB).

Saat ini, pemerintah dalam perhitungannya pun sudah mulai memasukkan komponen PNBP, SDA, Migas, dan Pertambangan masuk dalam perhitungan. Dengan demikian, rasio pajak menjadi sekitar 11 persen.

"Kalau kita lihat OECD guideline-nya. penerimaan itu seluruh yang nature sifatnya pajak dihitung di dalam konponen penerimaan. Di kita sejauh ini yang baru kita hitung adalah penerimaan pajak bea cukai dan sekarang PNBP dan pertambangan," urai Yon.

Dia mengatakan, jika perhitungan tax rasio Indonesia menggunakan arti luas, angkanya sekitar 13-13,5 persen. Itu pun, dengan catatan memasukkan seluruh komponen pajak, baik di pusat maupun daerah.

"Tapi yang belum kita masuk itu unsur pajak daerah. kalau itu masukkan rata kontribusinya akan nambah 1,5 sampai 2 persen," ungkapnya.

Dia mengakui, tax ratio Indonesia masih rendah walaupun seluruh komponen potensi penerimaan pajak tersebut telah dimasukkan. Namun, angka tersebut tidak berbeda terlalu jauh dengan negara tetangga.

"Memang masih lebih rendah juga cuma kalau kita bandingkan 10 persen dengan 15 persen keliatan gap-nya jauh. Kalau yang setara 13 persen dengan 15 persen. Kita sebenarnya tidak jauh juga," ujar dia. 

 

Sri Mulyani: Dari 10 Orang RI, Cuma Satu yang Taat Bayar Pajak

30 Wajib Pajak Dapat Penghargaan dari Sri Mulyani
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi sambutan saat memberikan apresiasi dan penghargaan kepada 30 Wajib Pajak (WP) di Jakarta, Rabu (13/3). Dari 30, terdapat enam pengusaha yang masuk dalam kategori WP Orang Pribadi. (Liputan6.com/JohanTallo)

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyentil kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia untuk membayar pajak. Hal ini dia sampaikan saat menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman antara Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Agama (Kemenag), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

"10 orang yang bekerja di Indonesia, baru satu yang terdaftar sebagai wajib pajak. Dari 10 orang wajib pajak, yang betul-betul bayar pajak hanya 1 orang. Yang betul-betul sampaikan SPT, hanya 5 orang," kata dia, di Kantor DJP, Jakarta, Jumat 9 November 2018.

Ia melanjutkan, kenyataan tersebut tentu akan memberikan kesan negatif terutama bagi para wajib pajak (WP) yang sudah patuh membayar pajak.

"Ini menggambarkan ketidakadilan. Pembayar pajak patuh melihat kenapa kita harus patuh terus yang lain tidak terkena konsekuensi apa-apa," ungkapnya.

Kurangnya kesadaran wajib pajak di Indonesia dapat dilihat pada persentase tax ratio Indonesia yang bergerak stagnan.

"Kalau dilihat dari tax ratio masih di bawah 15 persen selama 5 tahun terakhir kita berkutat antara 10 sampai 12 persen," ujar dia.

Padahal, menurut Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, potensi penerimaan negara dari pajak masih sangat besar.

"Penerimaan pajak terhadap total penerimaan negara adalah 70 persen. Dan ini masih kecil karena kita lihat potensinya sangat besar," kata dia.

"PDB sudah mendekati Rp 16.000 triliun, tapi penerimaan pajak baru Rp 1.600 triliun. Kalau tax ratio bisa dinaikkan dengan negara sekitar 16 persen dari PDB, maka kita punya potensi hampir Rp 750 triliun," imbuhnya.

Karena itu, dia berharap penandatanganan nota kesepahaman yang dilakukan hari ini, dapat mendorong meningkatnya kesadaran WP untuk membayar pajak.

"Tugas ini tidak mudah dibutuhkan satu pemahaman dan kesadaran yang harus ditanamankan sejak usia dini. Oleh karena itu kita senang bikin MoU," tandasnya.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya