Genjot Pertumbuhan Ekspor, Pemerintah Perlu Buka Pasar Baru

Dampak dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China akan berimbas pada pertumbuhan ekspor Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Mei 2019, 20:55 WIB
Diterbitkan 17 Mei 2019, 20:55 WIB
Capaian Ekspor - Impor 2018 Masih Tergolong Sehat
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (25/5). Kenaikan impor dari 14,46 miliar dolar AS pada Maret 2018 menjadi 16,09 miliar dolar AS (month-to-month). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN), Arif Budimanta mengatakan, dampak dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China akan berimbas pada pertumbuhan ekspor Indonesia.

Sebab, ketegangan dari kedua negara itu berpotensi menghambat ekspor pada 2019. Arif mengatakan, untuk mencegah terjadinya perlambatan terhadap pertumbuhan ekspor maka salah satu upayanya adalah dengan memperluas pasar baru.

Selama ini, kedua negara tersebut tersebut masih menjadi pasar potensial bagi Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pangsa ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai sebesar 14,85 persen dengan total nilai USD 7,27 miliar.

Sementara pangsa ekspor Indonesia ke AS sendiri sebesar 11,32 persen, dengan total nilai mencapai USD 5,54 miliar.

"Pemerintah harus fokus membuka pasar ekspor baru. Negara-negara Afrika bisa menjadi potensial ekspor Indonesia," kata Arif dalam acara press briefing, di Jakarta, Jumat (17/5/2019).

Arif menuturkan, dalam upaya perluasan pasar baru ini pemerintah perlu memperhatikan secara seksama. Artinya tidak sembarangan dalam mendekati negara-negara asal tujuan eskpor. Terlebih, harus memiliki jumlah populasi yang besar.

"Terhadap pasar pasar baru tidak semua negara juga kita dekati, tapi secara komposisi penduduk banyak misal Nigeria, 190 juta, Afrika Selatan, Mesir 100 juta penduduk kalau kita ekspor dagang ke penduduk yang sampai 4 juta agak kurang, harus masuk ke populasi besar" ujar dia.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Pemerintah Harus Kendalikan Defisit Perdagangan

(Foto: Merdeka.com/Dwi Aditya Putra)
Wakil Ketua Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN), Arif Budimanta (Foto:Merdeka.com/Dwi Aditya Putra)

Sebelumnya, Wakil Ketua Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN), Arif Budimanta menyoroti defisit neraca perdagangan Indonesia yang terjadi pada April 2019.

Dia menuturkan, defisit sebesar USD 2,50 miliar tersebut harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah, lantaran menjadi terbesar dibandingkan tahun-tahun lalu.

"Apa yang sebabkan defisit di April capai USD 2,50 miliar ini merupakan defisit terdalam dalam jangka waktu 6 tahun terakhir," kata Arif dalam acara pres briefing, di Jakarta, Jumat, 17 Mei 2019.

Arif mengatakan, dengan memburuknya posisi neraca perdagangan Indonesia otomatis akan berimbas pada terkoreksinya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam asumsi makro Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2019 pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan mencapai sebesar 5,3 persen.

"Di tahun 2019 kita akan tumbuh 5,3 persen dari asumsi makro APBN 2019. Maka target nilai ekspor kita harus minimal capai Rp 3.408 triliun," kata dia.

Oleh karena itu, kata dia, untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi RI harus ada tindak lanjut dalam upaya pengendalian terhadap defisit neraca perdagangan. Paling tidak pemerintah dapat melakukan refleksi dari arah kebijakan moneter, fiskal hingga kepada sektor riil.

Dia menambahkan, dalam upaya pengendalian defisit neraca perdagangan dapat dilakukan juga dengan mendorong ekspor dan menahan laju impor. Untuk mendorong ekspor, kata dia, bisa dilakukan dengan meningkatkan volume perdagangan atau mengubah harga relatif komoditas ekspor.

Arif menyebut, salah satu yang bisa dilakukan untuk mendoring volume perdagangan dapat dilakukan dengan mendiversifikasi ekspor selain komoditas utama. Sebab selama ini, Indonesia masih bergantung dan mengandalkan CPO beserta produk turunannya untuk ekspor.

"Kalau kita bertantung kepada CPO saja maka harga komoditinya akan turun. Secara agregat harga komidtas migas itu April 2018 ke april 2019 turun 21 persen secara agregrat, secara keseluruhan. Volume meningkat, tapi harga turun," kata dia.

Neraca Dagang April Defisit USD 2,5 Miliar

Aktivitas di JICT
Aktivitas di Jakarta International Container Terminal, Jumat (15/3). BPS mencatat nilai ekspor pada Februari 2019 tercatat sebesar US$12,53 miliar atau turun 10,05 persen dari bulan sebelumnya, yakni US$13,93 miliar.(Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 sebesar USD 2,50 miliar. Defisit dipicu defisit sektor migas dan non migas masing masing sebesar USD 1,49 miliar dan USD 1,01 miliar.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, defisit pada April tersebut merupakan terbesar sejak Juli 2013. Defisit yang hampir sama pernah terjadi pada Juli 2013 sebesar USD 2,33 miliar.

"Menurut data kami, yang sekarang ada, itu terbesar di Juli 2013 sekitar USD 2,33 miliar. Lalu April ini, sebesar USD 2,50 miliar," ujar Suhariyanto di Kantornya, Jakarta, Rabu, 15 Mei 2019.

Adapun pada April ekspor Indonesia naik sebesar 10,8 persen menjadi USD 12,6 miliar sedangkan impor naik lebih tajam sekitar 12,25 persen menjadi USD 15,1 miliar jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Penyebab defisit neraca perdagangan tersebut utamanya, disebabkan oleh defisit migas sebesar USD 2,76 miliar. Sedangkan non migas mengalami surplus sebesar USD 0,2 miliar.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya