Diserbu Tekstil Impor, Pengusaha Minta Perlindungan ke Kemenperin

Safeguard juga diperlukan di tengah perang dagang yang tengah memanas antara Amerika Serikat dan China.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Sep 2019, 14:00 WIB
Diterbitkan 10 Sep 2019, 14:00 WIB
Geliat Konveksi Lokal di Tengah Ekspansi Tekstil Impor
Pekerja menyelesaikan jahitan pesanan pelanggan di kawasan Tambora, Jakarta, Kamis (5/9/2019). Rendahnya penyerapan pasar dan lemahnya kebijakan safeguard dalam melindungi pelaku industri dalam negeri membuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tertekan. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengajukan perlindungan perdagangan dari banjirnya serbuan produk impor atau safeguard. Dokumen pengajuan safeguard sudah disampaikan kepada Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Kementerian Perdagangan (Kemendag).

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, pihaknya akan mendorong agar safeguard segera rampung. Hal tersebut untuk menghalau impor tekstil dari luar negeri yang kini mulai membanjiri pasar dalam negeri.

"Safeguard kami akan dorong karena itu harmonisasi, karena sekarang impor dari tekstil itu tinggi sekali dan itu impornya di tengah, jadi antara hulu kemudian di tengah kemudian ke hilir," ujarnya di Kantor Kementerian bidang Kemaritiman, Jakarta, Selasa (10/9/2019).

Safeguard juga diperlukan di tengah perang dagang yang tengah memanas antara Amerika Serikat dan China. Di mana, akibat ketidakjelasan arah perang dagang ini, produk China banyak yang menyasar pasar lain terutama Indonesia.

"Apalagi dengan adanya tradewar ini China cari pasar. Nah yang paling besar dan dekat menjanjikan kan di Indonesia. Jadi ini harmonisasi tarif dari hulu sampai ke hilir. Ini kami akan bahas dengan Kementerian lain, Mendag dan Menkeu juga," jelasnya.

Airlangga melanjutkan, kondisi saat ini ekspor tekstil mengalami peningkatan ke sejumlah negara. Namun, ada persoalan di tengah produksi terkait komponen tekstil yang didatangkan dari negara lain. Adapun tiga industri yang paling menderita adalah industri kain, benang dan printing.

"Dari ekspor di hilir sih meningkat, jadi persoalannya di tengah. Tengah itu masuk ke kain, benang, printing. Nah tiga industri itu yang coba kami revitalisasi. Sebagian kalah karena teknologinya lama sekali. Dia tidak melakukan revitalisasi permesinan tetapi kalau yang revitalisasi permesinan mereka cukup bagus," tandasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kemenperin Bantah Sektor Tekstil Berdarah-darah

Geliat Konveksi Lokal di Tengah Ekspansi Tekstil Impor
Pekerja menyelesaikan jahitan pesanan pelanggan di kawasan Tambora, Jakarta, Kamis (5/9/2019). Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) semakin tertekan akibat gempuran produk impor dari China. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Kementerian Perindustrian membantah laporan bahwa industri tekstil sedang mengalami kondisi "berdarah-darah". Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki, Muhdori, menyatakan pertumbuhan tekstil di Indonesia masih tinggi. Ia pun menyampaikan berbagai bantahan perihal pernyataan asosiasi pertekstilan dan perbandingan dengan Vietnam.

"Pertumbuhan di industri manufaktur itu yang paling bagus saat ini di tekstil dan produk tekstil (TPT)," ujar Muhdori pada Rabu (4/9/2019) di Jakarta. Ia turut menambahkan berkata pertumbuhan tekstil Indonesia adalah yang terbaik setelah makanan dan minuman. 

Muhdori pun mementahkan pernyatan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) di Jawa Barat yang dinilai tidak mewakili keadaan secara lengkap. Ia mengatakan penyerapan tenaga kerja di industri tekstil serta kontribusinya terhadap PDB juga masih tertinggi di antara komoditas manufaktur.

Ia berkata jika ada perpindahan bisnis tekstil seperti dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, maka itu adalah hal biasa dalam bisnis. Terkait adanya perusahaan yang berhenti berproduksi, menurutnya itu belum tentu permanen.

"Misalkan ada beberapa perusahaan yang memang menghentikan atau mengurangi produksi. Itu kan faktornya tidak hanya satu masalah, tetapi ada masalah-masalah yang lain. Tetapi bukan berarti yang dia berhenti itu akan berhenti seterusnya," ujar Muhdori.

Pada semester I 2019, ekspor pakaian jadi mencapai USD 3,6 miliar, sementara impornya USD 394 miliar. Secara total, ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia senilai USD 6,4 miliar dan impornya USD 4,6 miliar.

Muhdori juga membantah bahwa Vietnam punya daya tarik lebih baik ketimbang Indonesia dalam industri tekstil. Menurutnya, Indonesia justru bisa selektif dalam memilih investor. Apabila Indonesia sudah punya teknologi yang investor miliki, maka pemain asing itu tidak bisa berkompetisi di dalam negeri.

"Kita justru masih mengeliminir, memilih, kalau investasi tekstil dan produk tekstil dan alas kaki, kalau teknologinya masih sama di Indonesia, mereka itu tidak bisa kompetisi di sini," ucap Muhdori.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya