Liputan6.com, Jakarta - Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-Jusuf Kalla (JK) memasuki masa akhir pemerintahannya. Per tanggal 20 nanti, giliran Jokowi-Ma'ruf Amin yang akan memimpin Indonesia dalam lima tahun ke depan.
Pengamat Ekonomi dari Economic Action Indonesia (EconAct) Ronny P Sasmita berpendapat, berbicara mengenai kinerja pemerintahan Jokowi-JK selama lima tahun terakhir, tentunya banyak hal yang patut diapresiasi. Khususnya mengenai usahanya dalam menurunkan angka kemiskinan.
"Data BPS, selama empat tahun pemerintahan berjalan, Jokowi berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar 1,14 persen atau rata-rata 0,28 persen per tahun," kata Ronny kepada Liputan6.com, Selasa (8/10/2019).
Advertisement
Baca Juga
Hanya saja, dia menggaris bawahi, jika dibandingkan dengan penurunan angka kemiskinan saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), angka tersebut masih kalah jauh.
Dijelaskannya, jika membandingkan indikator kemiskinan dalam dua rezim, pemerintahan SBY periode I mampu menurunkan kemiskinan sebesar 2,51 persen dari 16,66 persen pada 2004 menjadi 14,15 persen pada akhir 2009.
Selanjutnya, pada periode kedua, pemerintahan SBY menorehkan hasil lebih baik dengan menurunkan 3,19 persen angka kemiskinan dari 14,15 persen menjadi 10,96 persen. Rata-rata penurunannya per tahun 0,57 persen.
"Dalam kacamata pukul rata, tentu terlihat jelas bahwa SBY jauh lebih mumpuni ketimbang Jokowi dalam hal penurunan angka kemiskinan," tegas dia.
"Logika serupa berlaku untuk angka IPM, yang sebenarnya berjalan sebagaimana trend semestinya, tak ada loncatan. Terkecuali mungkin angka elektrifikasi yang cukup baik, karena memang terpapar proyek-proyek infrastruktur," pungkas dia.
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Menko Puan: Kenaikan Iuran BPJS Tak Pengaruhi Angka Kemiskinan
Pemerintah akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan mulai 2020 mendatang. Kenaikan ini mencapai hampir 100 persen untuk semua kelas.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani memastikan kenaikan ini tak akan berdampak pada peningkatan angka kemiskinan. Puan mengatakan, kendati iuran BPJS dinaikkan, Penerima Bantuan Iuran (PBI) ditanggung pemerintah.
"Lho untuk PBI, rakyat yang ditanggung oleh negara itu tetap kita tanggung. Jadi ada 96,8 (juta) plus yang lain-lain, hampir 120 juta orang rakyat miskin masih ditanggung oleh negara," jelasnya di Gedung Lemhanas RI, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (5/9/2019).
Puan mengatakan yang harus menambah bayaran iuran BPJS Kesehatan ini adalah peserta mandiri. Peserta mandiri pun bisa memilih kelas sesuai kemampuan mulai dari kelas I, kelas II, sampai kelas III.
"Tapi untuk PBI rakyat Indonesia itu negara tetap hadir, negara tidak kemudian tidak membayar iuran peserta PBI," ujarnya.
Advertisement
Tak Ada Penolakan
Puan mengatakan, DPR tak ada penolakan atas kenaikan ini. Dalam rapat kerja dengan DPR, Puan mengatakan DPR hanya meminta agar segera dilakukan evaluasi dan penguatan terkait hal-hal yang perlu dibenahi dalam BPJS, termasuk perbaikan pelayanan kesehatan.
"Kenaikan ini akan berlaku 1 Januari 2020. Jadi belum sekarang.Sekarang ditandatangani, (bukan berarti) sekarang juga naik. Jadi masih ada waktu untuk membenahi dan memperbaiki hal-hal yang perlu dilakukan," kata Puan.
Menurutnya telah lima tahun belum ada penyesuaian iuran BPJS. Sesuai UU, jika diperlukan bisa dilakukan penyesuaian setiap dua tahun. Terkait persetujuan presiden, Puan mengatakan tengah menunggu Perpres ditandatangani.
"Ini sudah lima tahun tidak dilakukan. Tentu saja penyesuaian ini tidak kita lakukan serta merta begitu saja. Ada saja komitmen-komitmen tertentu yang sudah dibicarakan untuk kita lakukan perbaikan-perbaikan secara menyeluruh," pungkasnya.