Simplifikasi Cukai Tambah Beban Petani Tembakau

Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menolak pemberlakuan simplifikasi penarikan cukai rokok di 2021.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Sep 2020, 19:40 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2020, 13:45 WIB
Mengenal dan Mengendalikan Hama Tanaman Tembakau Memanfaatkan Teknologi Digital
Para petani tembakau di lahan perkebunan mereka di Desa Jatiguwi, Kabupaten Malang (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menolak pemberlakuan simplifikasi penarikan cukai rokok di 2021. Simplifikasi Penarikan cukai dan upaya Kenaikan Cukai rokok kembali dinilai akan menambah beban penderitaan masyarakat petani tembakau yang sebagian besar hidup di pedesaan.

Padahal saat ini, akibat wabah Covid 19, perekonomian masyarakat termasuk masyarakat petani tembakau di pedesaaan semakin terpuruk.

Ketua APTI Nusa Tenggara Barat Sahmihudin menyatakan, masyarakat petani tembakau menolak beragam upaya Simplifikasi Cukai, karena hal tersebut akan mematikan perusahaan atau pabrik rokok menengah dan kecil di tanah air.

Jika perusahaan rokok menengah dan kecil banyak berguguran, penjualan tembakau yang dihasilkan masyarakat petani tembakau di Indonesia akan menyusut. Jika penjualan tembakau dari perkebunan tembakau nasional menyusut, otomatis akan menyengsarakan dan membahayakan kehidupan ekonomi para petani tembakau.

“Rencana Simplifikasi Penarikan Cukai Rokok itu hanya akan menguntungkan satu perusahaan rokok besar. Dan akan mematikan atau membunuh perusahaan - perusahaan rokok menengah dan kecil nasional. Karena pembayaran cukai perusahaan rokok kecil dipaksa masuk ke golongan yang lebih besar. Yang semula perusahaan rokok itu bayar cukai rokok di golongan IV, misalnya, kalau disimplifikasikan, menjadi tiga golongan. Dan ini bayar cukainya jadi lebih mahal,” papar Sahmihudin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (4/9/2020).

Lebih lanjut Sahmihudin menjelaskan, jika Simplifikasi penarikan cukai dilaksanakan, pemerintah juga akan mengalami kerugian. Sebab jika banyak perusahaan rokok kelas menengah dan kecil berguguran, jumlah cukai rokok yang ditarik pemerintah juga menjadi kecil.

Jika perusahaan rokok menengah dan kecil nasional berguguran, yang tersisa tinggal satu atau dua perusahaan rokok besar. Akan terjadi monopoli baik dibidang produksi maupun penjualan rokok. Pasar ditentukan oleh produen rokok besar tersebut. Harga tembakau petani juga dimainkan oleh mereka. Hal ini bertentangan dengan undang-undang anti persaingan usaha tidak sehat. Hal ini pada akhirnya akan merugikan bangsa Indonesia.

“Kami berharap pemerintah menolak desakan dari satu perusahaan rokok besar asing terutama dari Amerika yang meminta segera dilaksanakan Simplifikasi penarikan cukai. Pemerintah harus melindungi kepentingan petani tembakau juga industri rokok nasional,” tegas Sahmihudin.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kenaikan Cukai

(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Petani Tembakau (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Ditambahkan Sahmihudin, Kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok sebesar 23 persen yang dituangkan lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 152 tahun 2019 dan mulai berlaku pada April 2020 dampaknya masih sangat dirasakan oleh petani tembakau. Penjualan tembakau dari para petani ke industri rokok menurun drastis di tahun 2020 ini.

Hal ini karena industri rokok juga mengurangi pembelian tembakau dari para petani. Pembelian tembakau ke petani turun, karena produksi rokoknya juga turun. Produksi rokok turun, karena penjualan rokoknya menurun drastis karena harganya menjadi tinggi akibat kenaikan cukai yang sangat tinggi.

“Kalau pemerintah memberlakukan Simplifikasi Penarikan Cukai di tahun 2021 ditambah lagi dengan kembali menaikan cukai rokok, sudah dapat dibayangkan, pembelian tembakau dari para petani tembakau akan semakin menyusut. Jika pembelian tembakau kepada para petani menyusut, penderitaan petani akan semakin besar. Harga jual produk tembakau yang dihasilkan para petani menjadi lebiah murah dibandingkan biaya produksinya. Petani tembakau tidak punya penghasilan lain selain berkebun tembakau,” papar Sahimudin.

Ditambahkan oleh Sahimudin, jika kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok setiap tahun dan melakukan perubahan penarikan cukai atau simplifikasi dalam rangka mengurangi jumlah perokok di masyarakat, itu tidak tepat. Sebab, masyarakat perokok sulit dihentikan kebiasaan dan hobi merokoknya lewat kenaikan tarif cukai atau harga jual rokok. Mereka akan beralih ke rokok yang sangat murah. Bahkan rokok yang tidak bermerek. Sebagian lagi akan membeli rokok illegal. Jika harga rokok naik, yang marak terjadi adalah peredaran rokok illegal. Hal ini tentu saja merugikan pemerintah. Tidak ada atau pemasukan cukai rokoknya berkurang. Sebab, rokok illegal tidak membayar atau tidak menempelkan pita cukai rokok dari pemerimtah.

“Sebaliknya, jumlah perokok juga tidak berkurang. Bahkan, jika masyarakat mengkonsumsi rokok illegal atau rokok murah yang tidak bercukai, pemerintah menjadi sulit mengkontrol, berapa jumlah perokok aktif. Dengan demikian, jika ada yang bilang, kebijakan menaikan cukai rokok atau melakukan simplifikasi penarikan cukai rokok adalah untuk mengurangi jumlah perokok tidak sepat. Atau salah sasaran.” Papar Ketua APTI Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Pada kesempatan yang sama, Ketua APTI Jawa Barat, Suryana juga menyampaikan kepada Wamen Desa PDTT, agar menyampaikan kepada Presiden maupun Menteri Keuangan, jika ingin membuat kebijakan atau merubah kebijakan yang berkaitan dengan industri hasil tembakau, sebelum kebijakan itu dibuat dan diterapkan, melibatkan atau meminta masukan dari para petani tembakau dan industri hasil tembakau nasional. Bukan diputuskan sendiri.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya