Liputan6.com, Jakarta - Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Sinulingga merespons usulan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk membubarkan Kementerian BUMN yang dinilai tidak efisien dalam tata kelola perusahaan plat merah selama ini.
Kata Ahok, lebih baik Kementerian BUMN diganti dengan pembentukan superholding seperti yang dilakukan Pemerintah Singapura melalui Temasek. Meski bagus, Arya bilang gagasan Ahok harus dipikirkan matang-matang sebelum dieksekusi.
Baca Juga
"Jadi kita uji dulu ini semua. Kita jangan buru-buru mau superholding. Itu ide besar memang, tapi kita lihat dulu apakah ini efektif nggak? Sekarang ini kan masih sendiri-sendiri ini, masih jauh dari pemikiran superholding, jauh sekali," kata Arya, Rabu (16/9/2020).
Advertisement
Menurutnya, sebelum sampai pada pembentukan superholding, rantai pasok (supply-chain) antar BUMN harus berjalan dengan baik terlebih dahulu. Ide superholding juga sebenarnya sudah dicanangkan Kementerian BUMN sejak lama.
Namun saat ini, rantai pasok antar BUMN masih perlu diperbaiki. Oleh karenanya, pihaknya saat ini bakal terus fokus memastikan rantai pasok tersebut bisa sejalan.
"Jadi nanti kita lihat dengan kondisi supply chain-supply chain antara klaster-klaster, misalnya klaster pertanian gitu. Itu adalah cara-cara kita untuk bagaimana membangun supply chain end-to-end dari BUMN yang satu sampai akhir gitu. BUMN farmasi, bagaimana kita gabungkan rumah sakit yang tercecer dan bergabung jadi RS BUMN dengan IHC," jelasnya.
Arya bilang, Erick akan memastikan hal tersebut berjalan sesuai rencana terlebih dahulu, baru Kementerian BUMN bisa melangkah ke arah pembentukan superholding.
"Itu yang kita sampaikan juga di DPR. Di Komisi 6 sudah kita sampaikan mengenai strategi kita mengenai klaster-klaster, dan DPR juga melihat itu adalah cara langkah kita untuk bisa mendapatkan kondisi saat ini yang terbaik," tandasnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Ahok Usul Kementerian BUMN Dibubarkan
Sebelumnya, Mantan Gubernur DKI Jakarta sekaligus Komisaris Utama PT Pertamina Persero Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa disapa Ahok mengusulkan agar Kementerian BUMN dibubarkan dan diganti dengan superholding.
Hal ini dikarenakan menurutnya, tata kelola perusahaan plat merah ini tidak efisien dan buruk. Lebih baik, manajemen BUMN diserahkan ke kalangan profesional yang jauh dari kepentingan politik.
ÂAhok mencontohkan pembentukan Temasek yang digagas Pemerintah Singapura.
"Seharusnya Kementerian BUMN dibubarkan. Kita bangun seperti Temasek, jadi semacam Indonesia Incorporation," kata Ahok, dikutip dari kanal YouTube POIN, Rabu (16/9/2020).
Usul Ahok ini dilandasi dengan temuannya soal kebijakan Pertamina yang tidak efisien, mulai dari birokrasi, dugaan manipulasi gaji hingga soal utang.
Menurutnya, direksi Pertamina punya hobi lobi-lobi menteri. Pergantian direktur juga dilakukan tanpa pemberitahuan kepada dirinya sebagai Komisaris Utama.
"Dia ganti direktur pun bisa tanpa kasih tahu saya, saya sempat marah-marah juga, jadi direksi-direksi semua mainnya lobinya ke menteri karena yang menentukan menteri. Komisaris juga rata-rata titipan kementerian-kementerian," kata Ahok.
Lalu, adanya dugaan manipulasi gaji, dimana pejabat yang sudah tidak bertugas di posisi yang bersangkutan masih menerima gaji yang nominalnya sama.
"Orang yang dicopot dari jabatan dirut anak perusahaan misalnya gajinya Rp 100 juta lebih, masa di copot tapi gaji masih sama, alasannya dia orang lama, harusnya kan gaji mengikuti jabatan Anda, tapi mereka bikin gaji pokok gede-gede semua," tandas Ahok.
Kemudian soal utang. Ahok menilai, Pertamina selalu ingin berutang untuk mengakuisisi kilang minyak luar negeri. Padahal, menurutnya lebih baik Pertamina melakukan eksplorasi dalam negeri karena Indonesia masih punya potensi 12 cekungan yang menghasilkan minyak dan gas (migas).
"Sudah minjam duit USD 16 miliar, tiap kali otaknya minjam duit terus, saya sudah kesal. Minjam terus, akuisisi terus, kita masih punya 12 cekungan yang berpotensi minyak dan gas, ngapain di luar negeri? Jangan-jangan ada komisi," ujar Ahok.
Advertisement