211.476 Perusahaan Sudah Dapat Insentif Perpajakan, Ini Rinciannya

Hingga 2 November 2020, sudah sebanyak 211.476 perusahaan yang melakukan permohonan untuk mendapatkan insentif perpajakan.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Nov 2020, 15:40 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2020, 15:40 WIB
DJP Riau-Kepri Pidanakan 2 Pengemplang Pajak
Ilustrasi: Pajak Foto: Istimewa

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mencatat hingga 2 November 2020 sudah sebanyak 211.476 perusahaan yang melakukan permohonan untuk mendapatkan insentif perpajakan. Adapun dari total tersebut telah disetujui pemerintah.

"Ini diluar yang wajib pajak dari UMKM," katanya, di Jakarta, Senin (9/10).

Bendahara Negara itu merincikan, dari total tersebut sebanyak 129.744 perusahaan telah mendapatkan fasilitas keringanan PPh Pasal 21 DTP. Atau disebut juga dengan pemberian fasilitas pajak karyawan yang ditanggung pemerintah.

Kemudian, untuk PPh Pasal 222 impor, sebanyak 14.085 perusahaan telah mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Pengurangan angsuran PPh Pasal 25 juga tercatat sebanyak 65.699 perusahaan, dan restitusi dipercepat mencapai 1.948 perusahaan.

Adapun secara sektoral, fasilitas perpajakan tersebut didominasi oleh empat sektor utama. Yakni perdagangan mencapai 99.007 perusahaan atau 46,82 persen. Kemudian disusul industri pengolahan sebanyak 40.905 perusahaan atau 19,34 persen.

Selanjutnya, untuk konstruksi dan real estat mencapai sebanyak 14.653 perusahaan, atau 6,93 perusahaan. Dan terakhir jasa perusahaan yang mencapai 13.454 perusahaan. Atau 6,34 persen.

"Analisa awal terhadap mereka disimpulkan bahwa insentif fiskal ini memberikan paling tidak bantuan untuk keberlangsungan usaha wajib pajaknya. Tentu diharapkan wajib pajak tetap bisa bertahan dan pulih kembali sering dengan pemulihan ekonomi," tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Dorong Orang Kaya Belanja, Pemerintah Perlu Ubah Stimulus Pajak

Pajak
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Indonesia resmi resesi lantaran pertumbuhan ekonomi di kuartal II minus 5,32 persen dan kuartal III juga minus 3,49 persen. Salah satu penyebab tidak tumbuhnya ekonomi Indonesia ini karena konsumsi rumah tangga yang masih rendah, khususnya kalangan menengah atas atau orang kaya yang masih enggan membelanjakan uangnya selama pandemi covid-19.

Lantas bagaimana agar kalangan menengah atas membelanjakan uangnya? Alih-alih menyimpan uang di bank.

Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per Juni 2020 menunjukkan nilai simpanan rekening di atas Rp 5 miliar meningkat 7,3 persen sejak awal tahun.

Lalu, kelas atas atau orang kaya terutama yang memiliki simpanan di atas Rp 5 miliar terlihat mengalihkan dana ke simpanan dibandingkan berbelanja.

Sementara itu kelas atas atau 20 persen kelompok pengeluaran paling atas memiliki kontribusi di atas 45 persen dari total pengeluaran nasional. Artinya, hampir setengah konsumsi bergantung pada perilaku belanja masyarakat kelas atas.

“Jadi sangat signifikan dalam membentuk pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Yang jadi faktor utama adalah kekhawatiran belanja di saat pandemi masih tinggi penularannya, dan sebagai antisipasi resesi ekonomi,” kata Bhima kepada Liputan6.com, Jumat (6/11/2020).

Lanjut Bhima, tren konsumsi kelas atas masih akan rendah, selama kasus positif masih di atas 3.000-4.000 kasus per hari. Orang kaya yang biasa membeli mobil mewah tapi karena ada kekhawatiran kena Covid-19, sektor otomotif pun terimbas.

Biasanya orang kaya libur panjang bepergian keluar negeri atau ke destinasi wisata misalnya ke Bali, tapi saat ini banyak tempat wisata yang belum optimal. Mal dan restoran juga alami penurunan yang tajam dari sisi omzet karena keterbatasan untuk dine in atau makan di tempat.

“Jadi di kuartal III konsumsi masih kontraksi cukup dalam. Disarankan ubah stimulus pajak dari stimulus korporasi seperti pengurangan PPh badan menjadi stimulus yang langsung mengarah ke konsumsi akhir,” ujarnya.

Misalnya penangguhan sementara PPN 10 persen dalam 3-6 bulan, karena kelas atas atau orang kaya ini kan beli makan di restoran, hotel kena PPN 10 persen. Jika itu ditangguhkan bisa mendorong stimulus konsumsi.

“Setidaknya dalam 3-5 kuartal ke depan baru ada pemulihan konsumsi kelas atas yang optimal. Itu pun asumsinya vaksin ditemukan, dan kasus positif bisa ditekan. Selama pandemi belum terkendali dan mobilitas penduduk masih rendah maka orang kaya tetap memilih untuk saving,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya